Waktu akan berputar di
belakangmu jika engkau terus berjalan ke depan. Berjalanlah terus, teruslah
berjalan.
Malang
kota pertama dalam perjalanan keliling Indonesia akan saya tinggalkan setelah
delapan belas hari tinggal di sana. Senin pagi tanggal 19 Januari 2015 saya
kembali berdiri melakukan hitchhiking di tempat sebelumnya waktu ingin ke
Bromo, di dekat perputaran mobil di utara pasar Singosari.
Mas
Santoso yang mengendarai motor Supra X 125 menawarkan tumpangan pertama menuju
Purwosari, setelah lima belas menit saya menunggu. Beliau adalah sales cat
Avian yang sedang PO ke daerah Purwosari menurunkan saya di pertigaan menuju
Pasuruan. Di sini jalur terbagi dua; satu ke Utara yaitu menuju Surabaya,
satunya lagi ke Timur dengan Pasuruan sebagai kota terdekat.
Mas Santoso |
Saya
melakukan hitchhiking lagi ditambah tulisan “Pasuruan” di belakang kalender
bekas. Sepuluh menit berikutnya Honda Freed hitam berhenti di dekat saya. Pak
Budi yang bekerja di perusahaan suplier batu bara untuk PLTU Paiton memberi
tumpangan kedua untuk separoh jarak yang akan saya tempuh. Dia mengantarkan
saya sampai ke pom bensin Paiton yang berjarak sekitar 1 kilometer setelah
PLTU.
Sepanjang
jalan kami bercerita, termasuk alasan beliau memberi tumpangan kepada saya. Menurut
pak Budi dia tidak biasa memberikan tumpangan, tapi kali ini dia memberi saya
tumpangan karena melihat gaya berpakaian saya yang tidak mencurigakan dan
memang seperti seorang traveller. Setelan saya waktu itu, topi, kaos putih, jaket
jeans biru muda, celana jeans abu-abu, dan sepatu kets, serta backpack.
Satu
hal yang sangat menarik ketika bercerita dengan pak Budi adalah banyaknya
informasi yang dia miliki. Beliau bisa menjelaskan keadaan daerah-daerah
sepanjang perjalanan kami, termasuk ketika saya menanyakan kenapa banyak sekali
himbauan KB di sepanjang jalan Probolinggo. Daerah Pantura yang melintasi
Probolinggo merupakan daerah dengan tingkat pengidap HIV tertinggi di Jawa
Timur menurut beliau.
Di
pom bensin bintang lima Paiton itu saya menunaikan sholat Zuhur setelah itu
makan nasi rawon di seberangnya. Setelah gerimis yang berubah menjadi hujan
reda, saya menunggu tumpangan dengan mengganti tulisan yang akan saya
bentangkan menjadi “Banyuwangi”. Mobil Panter biru metalik berhenti tepat di
depan saya dan kaca depannya terbuka. Pak Andi menawarkan saya tumpangan sampai
Wongsorejo, sekitar 10 kilometer sebelum pelabuhan Ketapang.
Pak
Andi berhenti di pom bensin itu untuk menunaikan sholat Zuhur setelah menempuh
perjalanan dari Surabaya. Beliau bekerja sebagai distributor pakan ternak udang
untuk daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Setiap minggunya pak Andi menempuh
perjalanan Surabaya-Banyuwangi dan sebaliknya. Selain memberi tahu keadaan
daerah dan objek wisata di sepanjang perjalanan, Pak Andi memberi saya
kesempatan untuk mengambil foto identitas-identitas dari suatu tempat dan juga
monumen, tugu serta patung yang ikonik dari suatu tempat, seperti monumen 1000
Kilometer Anyer-Panarukan, Patung Tari Gambang, Watu Dodol dan beberapa
lainnya.
Pak
Andi mengantarkan saya sampai pelabuhan Ketapang, lalu beliau mentraktir makan
nasi pecel di seberang pelabuhan. Pak Andi kembali lagi ke Wongsorejo setelah
kami menunaikan sholat magrib dan saya mencari tumpangan selanjutnya menuju
Bali.
Di
depan pos penjualan tiket masuk ke pelabuhan saya mengacungkan jempol lagi
mencari tumpangan selanjutnya setelah minta izin sama polisi yang ada di sana.
Tidak sampai lima menit, security pelabuhan datang menegur saya, dia melarang
saya menunggu tumpangan dalam komplek pelabuhan, jika ingin menunggu dia
meminta saya menunggu di luar pelabuhan, dan dia menyarankan saya membeli tiket
kapal saja. Karena hujan turun cukup deras, akhirnya saya putuskan untuk
membeli tiket kapan seharga delapan ribu.
Hujan
masih saja turun dan makin deras sesampainya saya di pelabuhan Gilimanuk jam 8
malam. Malam itu saya tidur di mushola pelabuhan bersama beberapa orang
pedagang asongan dan petugas pelabuhan. Setelah menunaikan sholat Subuh saya
tidur lagi sebentar lalu mandi di toilet pelabuhan. Jam setengah 9 saya mulai
mencari tumpangan di dekat gerbang pelabuhan.
Beberapa
agen bus menawarkan tumpangan ke Denpasar, namun saya sangat menekan biaya
untuk perjalanan yang masih panjang, saya memutuskan mencari tumpangan truk
atau mobil pribadi. Selama menunggu tumpangan saya bercerita dengan agen bus ke
Singaraja dan Karang Asem, dan satu orang tentara yaitu bapak Ketut Sadya yang
mengatakan akan membantu saya mencari tumpangan.
Hampir
satu jam menunggu tidak ada tumpangan yang diharapkan, namun saya tetap yakin
akan mendapatkan tumpangan ke Denpasar walaupun beberapa orang-orang yang saya
temui di sana mengatakan susah mencari tumpangan gratis. Beberapa truk berlalu
begitu saja, sampai ada truk kontainer hijau berjalan pelan dan dua orang agen
bus tadi berteriak kepada sopirnya lalu menyuruh saya mengejar truk yang
berhenti sekitar 20 meter dari tempat saya berdiri.
Mas
Widodo menyetir sendiri truk kontainer itu dari Surabaya menuju Denpasar. Setelah
saya duduk dan mengatur letak barang bawaan beliau langsung menawarkan rokok.
Saya katakan kalau saya sudah hampir tiga tahun berhenti merokok, lalu beliau
memberi saya sebotol susu kedelai, minuman sekaligus sarapan pagi itu. Kami
bercerita tentang kegiatannya yang rutin sekali seminggu menempuh perjalanan
Surabaya-Denpasar dan sebaliknya termasuk resiko seorang sopir meninggalkan
keluarganya yang menjadi pengalaman pahit beliau.
Separoh
perjalan kami berhenti untuk makan siang dan minum kopi. Mas Widodo mengambil
kertas bon makan saya dan berjalan duluan ke kasir saat nasi saya masih tinggal
setengah. Kami melanjutkan perjalanan di sepanjang pantai selatan pulau Bali.
Pemandangan sawah yang bertingkat indah di sebelah kiri dan cantiknya pantai di
sebelah kanan membuat mata saya selalu terjaga di sepanjang perjalanan, selain
dari banyaknya bangkai anjing liar di pinggir jalan dan bau busuk yang
ditimbulkannya.
Cuaca
Denpasar sedang teriknya ketika kami sampai jam setengah dua siang. Truk
menurunkan muatannya di gudang bahan-bahan bangunan di daerah jalan Cargo.
Selama muatan dibongkar mas Widodo beristirahat untuk memulihkan tenaganya dan
saya menumpang sholat Zuhur di kantor staff gudang tersebut. Kami melanjutkan
perjalanan dan sampai di kantor Bali Age, perusahaan pemilik truk ini jam empat
sore.
Kantor
perusahaan cargo di jalan By Pas Ngurah Rai menjadi tujuan kami terakhir hari
itu. Di sini kami beristirahat dan saya mulai merencanakan perjalan menikmati
alam bali besok harinya serta mengumpulkan informasi dari para staff di sini.
Setelah
makan siang, sebelum berangkat ke Kuta saya sempatkan membersihkan interior dan
dan mencuci bagian depan truk kontainer yang saya tumpangi ini. Pengalaman yang
unik mencuci mobil sebesar ini yang saya sebut sebagai Optimus Prime hijau, setelah
menumpanginya selama hampir tujuh jam perjalanan. Sebelum pamit saya
menghadiahi mas Widodo selembar kaos polo yang saya bawa dari Jakarta untuk
anak laki-lakinya. Mas Widodo mengejutkan saya setelah dia meminta diambilkan
tas kecil dari dalam mobilnya, beliau memberi saya selembar uang 50ribu,
katanya untuk membantu perjalanan saya.
Banyak
kemudahan-kemudahan yang tidak terduga saya terima selama perjalanan dan saya
sangat mensyukurinya. Saya menjaga diri untuk selalu bersikap baik dan sopan
kepada setiap orang yang ditemui. Dari setiap bantuan yang diberikan oleh
orang-orang di atas, saya belum bisa membalas semuanya. Jika ada kesempatan
saya berusaha membantu mereka dengan tenaga yang dimiliki, jika tidak saya
mendoakan agar mereka selalu bahagia dalam kehidupannya.
Tidak
hanya dari orang-orang di atas, di Bali saya juga mendapat pinjaman sepeda
motor dari Bli Regan untuk jalan-jalan ke sepanjang pantai Sanur dan
sekitarnya. Perjalanan saya di Bali akan diceritakan pada postingan berikutnya.
Rabu,
21 Januari 2015. Bali
P.S:
Saat memposting tulisan ini, saya sedang ngemper di pantai Kuta menunggu
keindahan matahari tenggelam.
0 comments:
Posting Komentar