Jika
kamu ingin ke Bromo tidak perlu menganggap judul tulisan ini sebagai rute
perjalanan. Karena judul di atas cukuplah menjadi “rute perjalalan” saya untuk
menuju ke salah satu tempat terindah di propinsi Jawa Timur. Tentu ini bukanlah
jalur pintas agar lebih cepat sampai tanpa menyewa jeep atau berjalan kaki.
Tapi ini adalah jalur yang saya pilih agar bisa sampai di Bromo.
Tanggal
2 Januari saya sampai di Malang, salah satu alasan saya memilih kota ini
sebagai kota pertama yang saya datangi adalah agar bisa ke Bromo lebih dekat.
Di sini saya menginap di kontrakan Jeni a.k.a Zaeni a.k.a Beni, teman semasa
kuliah di Padang. Mengenai nama sebelumnya itu adalah panggilan dari tetangga
dan teman sesama pedagang di pasar Singosari. Rencana awalnya saya akan
berangkat sendirian, rencana berubah setelah saya mendapat teman perjalanan di backpackerindonesia.com dalam forum Next trip.
Saya memulai persiapan
utama sebelum ke Bromo, yaitu menjual pakaian yang saya bawa dari Jakarta sebagai modal
perjalanan untuk sampai dan pulang dari Bromo. Saya menjual kerudung dan
pakaian anak-anak di jembatan penyeberangan pasar Singosari. Jembatan
penyeberangan ini merupakan salah satu akses langsung menuju lantai satu pasar.
Apa yang saya temui di Jakarta membuat saya melihat jembatan penyeberangan
menjadi tempat strategis untuk berjualan, walaupun jembatan merupakan daerah
terlarang untuk berjualan menurut peraturannya.
![]() |
Dipilih...dipilih...dipilih... |
Di
jembatan saya bergabung dengan penjual peyek, pelukis, penjual hamster, penjual
obat, dan pengemis untuk mencari rejeki dari orang-orang yang menyeberang. Pagi
saya membuka lapak di ujung jembatan karena cuaca masih sejuk. Di sini suasana
sesama pedagang hangat dan akrab. Berbagi rokok, makanan, dan bercanda ria
membuat saya betah walaupun penjualan di sini biasa-biasa saja. Beralaskan
koran bekas, menahan bau pesing yang menguap, dan sempat ditegur petugas pasar
untuk tidak berjualan di sana. Teman-teman sesama pencari rezeki di ujung
jembatan mendorong saya untuk tetap berjualan di sana.
Selepas
zuhur sampai sore saya berjualan di tengah jembatan penyeberangan, berlindung
di balik papan iklan dari panas matahari. Dari sini penjualan saya lebih meningkat daripada di ujung jembatan. Calon pembeli atau penyeberang dapat lebih leluasa melihat dagangan saya. Di sini saya lebih aman dari pengamatan petugas pasar, walaupun masih tetap melanggar peraturan.
Pemandangan dari atas jembatan menciptakan sensasi ingin melompat ke atas truk-truk yang melintas di bawah. Bayangan adegan dalam film action James Bond sampai Jackie Chan melintas begitu cepat dalam pikiran saya dan itu benar-benar menciptakan dorongan untuk melompat dari atas jembatan tersebut. Ketika saya menuliskan ini, bayangan itu masih tetap hanya melayang saja dalam pikiran. Beberapa bulan yang lalu ada seseorang yang melompat dari atas jembatan lalu mendarat di atas mobil carry sebelum jatuh ke aspal.
Malam
Minggu kemarin saya diajak penjual obat ke pasar malam di daerah Lawang, suatu
daerah di jalur Malang-Surabaya. Di sini saya dan penjual obat nyempil di stand
penjual topi yang kebesaran. Banyaknya pengunjung pasar malam membuat saya
yakin dapat mencapai target penjualan sebelum ke Bromo. Namun banyak pengunjung
tdak berbanding lurus dengan penjualan saya di sana. Beberapa ibu-ibu
menawar dengan cara yang ‘afgan’, bahkan
tidak melewati modal untuk barang tersebut. Mereka tidak peduli dengan model
dan bahan bagus yang saya sampaikan.
Kesalahan
saya yaitu, menjual pakaian anak-anak yang menurut saya bagus, bukan apa yang
sedang ngetren. Pakaian yang sedang laris di sana saat ini adalah yang ada
gambar Mahabrata atau Masha and the Bear, dan saya tidak memilikinya satupun.
Begitupun dengan harga beli masyarakat di sana yang tidak tinggi. Ibrahim,
pedagang pakaian keliling yang biasa berjualan ke daerah mengatakan kalau harga
beli masyarakat untuk pakaian
anak-anak di daerah sekitar Rp 10.000 - Rp
25.000. Saya bisa memahami kenapa ibu-ibu yang saya temui menawar dagangan saya
dengan cara yang ‘afgan’. Huffft…
***
Selama di
Singosari saya menyempatkan diri jalan-jalan ke kota wisata Batu. Jika membawa
anak dan keluarga maka berwisata ke kota Batu sangat direkomendasikan. Saya ke
alun-alun kota Batu untuk menuntaskan keinginan makan ketan di Pos Ketan 167 yang
tidak kesampaian sejak 2012 yang lalu. Beberapa foto artis, host acara kuliner,
dan presiden Jokowi yang pernah berkunjung dipajang di dinding warung. Foto-foto
itu menjadi hal menarik yang dinikmati pengunjung selama mengantri sejak dari
luar warung. Malam itu juga saya menyempatkan diri naik bianglala di alun-alun
dengan harga karcis Rp 3.000,-
![]() |
Waktu akan berputar di belakangmu jika engkau terus berjalan. |
Besok
saya akan ke Bromo, mengunjungi tempat yang masuk dalam resolusi tahun 2014. Bukankah lebih baik tertunda daripada hanya dalam
perasaan ingin saja, bukan.
Senin, 12 Januari
2015. Malang
0 comments:
Posting Komentar