Perjalanan selalu menyimpan misteri
disetiap langkahnya. Arah dapat berganti, tujuan dapat berubah, rute bisa
beralih, namun niat tetap harus dipertahankan.
Tulisan
di atas dikutip oleh Gema Perdana dalam komentarnya pada catatan KELILING INDONESIA. Komentar dari Gema mengingatkan saya pada perjalan kemarin.
Perjalanan untuk menemukan lima belas pantai serta rutenya di bagian selatan
pulau Bali. Saya hanya diberi petunjuk kalau list pantai yang diterima sudah
satu jalur dari Utara-Selatan pulau Bali.
Mungkin
dalam pikiran kalian mulai muncul pertanyaan kenapa saya harus menemukan ke-lima
belas pantai tersebut. Pada postingan selanjutnya akan saya ceritakan alasannya
dan cerita kehidupan saya di Bali saat ini. Jadi sering-seringlah berkunjung ke
sini.
Cahaya
matahari mulai terasa hangat menyentuh kulit. Perjalanan hari itu dimulai untuk
menemukan pantai Kedonganan. Bermodal maps
dari handphone saya menelusuri pantai
di dekat bandara Ngurah Rai. Pantai Kelah adalah pantai yang pertama kali saya
temukan. Pantai Kelah mungkin kurang familiar bagi para wisatawan di Bali.
Pantai ini menjadi tempat berkumpulnya nelayan dan menjual ikan hasil tangkapannya
di koperasi terdekat. Selain dari ikan segar yang dapat ditemukan di sana, bau
amis juga akan menghampiri hidung pengunjung.
Pantai
Kedonganan berada dekat pantai Kelah, tepatnya di selatannya. Pantai yang
landai dan pasir berwarna keemasan merupakan pemandangan yang saya temui. Pagi
itu pantai sangat sepi dari pengunjung, beberapa pelayan di sana sedang bersiap
membuka kafe atau tempat makannya. Kedonganan menjadi pilihan yang tepat untuk
menikmati makan siang atau makan malam di tepi pantai. Meja dan kursi untuk
makan disusun di atas pasir dengan tenda-tenda berwarna terang. Suasana yang
dapat membuat makan terasa begitu istimewa jika kalian benar-benar menyukai
pantai dan seafood.
Menjelang
siang saya mencari pantai Tegal Wangi dengan tetap mengandalkan maps dari handphone. Posisi pantai berada di dekat hotel Ayana, belok kanan
sebelum gerbang hotel adalah jalan menuju ke sana. Jalanan lengang, beberapa
ekor anjing liar tampak berseliweran.
Pura
Tegal Wangi adalah satu-satunya bangunan di pantai Tegal Wangi. Beberapa motor
terparkir di depan pintu gerbang yang terkunci. Di kiri jalan sebelum pura ada tembok
setinggi dua meter dengan plang larangan masuk ke dalamnya. Ada pantai kecil kira-kira
sebesar lapangan badminton tersembunyi di balik tembok itu, di antara tebing batu
karang. Saat itu beberapa pengunjung tampak sedang asik bermain ombak di sana.
Jalan tanah di sebelah kiri pura membawa ke tebing batu karang yang menjadi
tempat menarik bagi para pemancing.
Mengikuti
petunjuk di maps handphone saya menelusuri jalan kecil menuju pantai Balangan, tujuan
berikutnya. Jalan kecil melintasi perumahan-perumahan baru dan jalanan yang
sepi. Sekitar tiga kilometer setelah meninggalkan pantai, saya dicegat oleh
seorang turis yang kelihatannya tersasar. Dialah Mr Hu Pei dari Shang Hai. Melalui
bahasa tubuhnya yang menirukan gaya bebas dalam berenang saya mengartikan kalau
dia ingin ke pantai.
Pantai
Tegal Wangi saya kunjungi untuk kedua kalinya hari itu. Setelah dapat melihat
laut Mr Hu Pei sangat gembira dan mengacungkan jempolnya beberapa kali. Setelah
menikmati pantai sejenak dan berfoto dia mengeluarkan kartu hotelnya, melalui
bahasa Tarzan meminta saya membawanya balik ke sana yang jaraknya sekitar
delapan kilometer dari pantai. Beliau tidak mengerti bahasa Inggris dan saya
sama sekali tidak tahu bahasa China, selain bahasa Tarzan, Google Translate
membuat kami merasa masih sebagai manusia dengan berbicara. “Dengan ini kita
bisa berbicara. Saya akan bantu kamu” kata-kata itu saya terjemahkan ke dalam
bahasa China dan perlihatkan kepada dia.
Tujuan
saya untuk menemukan pantai selanjutnya tertunda. Hotel Aston di Ungasan
menjadi tujuan selanjutnya untuk mengantarkan Mr Hu Pei. Setelah sampai beliau
meminta saya untuk menunggunya di lobby hotel, sementara dia ke kamarnya.
Beliau memberi saya uang dua puluh ribu lalu meminjam handphone lalu meminta kertas dan pulpen. Dia menuliskan nama dan
alamatnya dalam dua jenis tulisan serta nomor handphone-nya. Saya mengajukan beberapa pertanyaan melalui Google
Translate tentang perasaan dia di Bali, berapa lama di Bali dan kapan akan
kembali ke negaranya.
Mr
Hu Pei juga meminta saya menuliskan nama dan nomor handphone. Melalui bahasa tubuh dan kata-katanya sebelum berpisah,
saya mengartikan kalau dia mengundang untuk datang ke Shang Hai dan mampir ke
alamat yang dia tuliskan sebelumnya. Saya melihat ekpresi bahagia dari
wajahnya, lalu dia meminta security hotel untuk mengambil foto kami berdua.
Rute
saya beralih untuk mengunjungi pantai Balangan, karena dari Ungasan juga ada
jalan menuju ke sana. Saya memilih jalan yang lurus menuju pantai, sebelum
masuk membayar uang dua ribu untuk parkir motor. Belok ke kanan setelah pos
masuk, ada permukaan batu karang yang menjorok ke laut dibentuk menyerupai
altar. Tempat itu sering digunakan untuk mengucapkan janji suci pernikahan.
Tempat yang sangat indah untuk mengabadikan momen bahagia dalam kehidupan.
Tidak
jauh dari sana, ada tangga menuju pantai yang bersih dengan pasir berwarna
keemasan dan ombak yang cukup besar. Kafe-kafe di sana menyediakan kursi santai
yang dilengkapi tenda di hamparan pasir yang tidak begitu luas. Turis luar
mendominasi pengunjung pantai Balangan dengan berselancar dan menikmati bir
dingin di kursi-kursi santai.
Dengan
mengendarai motor, saya mengunjungi sisi lain dari pantai Balangan. Belok kanan
setelah melewati pos menuju arah pulang, menelusuri jalan menuju villa dan
hotel akhirnya sampai di jalan tanah dan berbatu karang, masuk dari jalan ini
tidak dipungut biaya. Di sisi selatan pantai Balangan, kafe-kafe berdiri
menjorok ke laut dengan lidah-lidah ombak sampai ke kolongnya. Di sini saya
tidak melihat turis lokal satupun, hanya beberapa turis luar sedang duduk
menikmati minuman mereka di kafe-kafe kayu itu.
Sebuah
gazebo berdiri di ujung karang dekat saya memarkir motor. Saya memilih duduk di
sana untuk menghindari panasnya matahari dan menikmati pantai Balangan. Saya
terjebak dengan suasana yang sangat nyaman dan sejuk di gazebo. Akhirnya
membuka notebook dan menyelesaikan cerita sebelum postingan ini di sana dengan
diiringi lagu Payung Teduh. Misi saya untuk menemukan lima belas pantai menjadi
tidak selesai pada hari itu.
Selama
menulis cerita saya membayangkan betapa bahagianya jika meja kerja memiliki
pemandangan dan suasana seperti di gazebo ini. Angin sejuk, deru ombak yang
menenangkan, biru laut yang menyegarkan, pandangan lepas sampai kehorison, dan
gerakan pohon-pohon kelapa yang seirama. Tidak ada post it yang berisi deadline
menempel di mana-mana, pandangan yang tertumbuk pada dinding-dinding yang beku,
atau teman-teman sekantor yang bisu terpaku pada layar komputer di depannya.
Saya
menemukan suasana yang tepat untuk selalu bahagia dan terus produktif menulis.
Saya menulis catatan ini dengan perasaan bahagia dan membaginya kepada kalian
dengan perasaan yang sama. Jika kalian membaca tulisan ini di tempat kerja
semoga kalian ikut bahagia, karena memang bahagia bisa di mana saja, namun tempat-tempat
tertentu dapat membuat kalian merasa lebih bahagia daripada berada di tempat
kerja. Maka, jalan-jalanlah.
Rabu,
28 Januari 2015. Bali
Saya baca post ini di kantor dengan pemandangan skat berwarna putih dan CPU bekas yang berjejer hfff. Jadi pengen jalan-jalan. Lanjutkan perjalanan nya mas, semoga selalu dalam lindungan Allah. Amin.
BalasHapusLembur mas?
BalasHapusTerima kasih mas doanya, semoga kamu bisa segera jalan-jalan dan lebih bahagia.
Lanjutkan da,muda-mudahan dlm perjalanan nya selalu diberi kesehatan dan kelancaran oleh allah s.w.t amin
BalasHapusLanjutkan da,muda-mudahan dlm perjalanan nya selalu diberi kesehatan dan kelancaran oleh allah s.w.t amin
BalasHapusAmiin, terima kasih Lipeb Senol
Hapus