Cerita di Bali bagian pertama
Kadang engkau tidak
perlu membutuhkan peta untuk berjalan, karena angin, bintang, dan segala bagian
alam dapat menunjukkan jalan buatmu.
Matahari
pagi pertama di Bali sangat menarik untuk dinikmati membuat saya segera bangkit
dari tidur untuk segera ke pantai Matahari Terbit. Kopi hitam membuat mata
benar-benar tidak ingin dipejamkan lagi. Begitupun kunci motor dari Bli Regan—security
PT. Sapta Prima Cargo-- membuat kami ingin segera berjalan ke tujuan.
Mata
saya terpaku menikmati matahari yang masih disembunyikan awan, sambil terus
berjalan menyusuri pantai hingga sampai di pantai Sanur. Ombak kecil dan pantai
yang landai dinikmati oleh beberapa pengunjung dengan berenang. Beberapa
pemancing nampak sabar menunggu ikan memakan umpan. Langit mulai biru dan
cahaya dari matahari makin terang menambah keindahannya.
Matahari
pada hari itu tidak saya lepaskan begitu saja, saya juga ingin menikmatinya
saat ia tenggelam. Siang saya menumpangi bus Sarbagita dari Sanur menuju Kuta
dengan membayar Rp 3.500,-. Turun di halte dekat patung Dewa Ruci lalu saya
melanjutkan jalan kaki sampai pantai Kuta. Baju dan jaket yang saya pakai basah
oleh keringat sesampainya di gerbang pantai Kuta. Berbekal kalender bekas dengan
tulisan “Banyuwangi” dan “Pasuruan” saya ngemper di pasir untuk memberi
kenyamanan pada bagian punggung.
Setelah
tidak menemukan mushola akhirnya saya menunaikan sholat Ashar di balai adat
arah ke selatan pantai Kuta. Langit masih terang, saya menikmati Di Mana Ada
Cinta Di Sana Tuhan Ada-nya Leo Tolstoy di tengah hembusan angin sambil
menunggu tenggelamnya matahari. Pantai makin ramai, selain bermain selancar dan
berenang, sebagian pengunjung sibuk mengambil foto dengan berbagai gaya.
Matahari, langit, laut, pasir, keriuhan pengunjung adalah paduan keindahan sore
itu di pantai Kuta.
Gelap
yang mulai menyelimuti dan rasa lelah mendorong saya mencari penginapan untuk
segera mandi bersitirahat. Menelusuri Popies Lane I dan II saya hanya menemukan
harga termurah penginapan Rp 80.000 untuk satu orang. Langkah kaki tiba-tiba
membawa saya ke Monumen Bom Bali di jalan Legian. Baterai hape yang hampir habis
dan perut keroncongan menjadikan Indomaret di dekat sana jadi pilihan utama
untuk mengisi keduanya.
Free
Wifi yang tersedia tidak bisa saya manfaatkan dengan maksimal, begitu juga oleh
laki-laki di sebelah saya, Reza. Setelah bercerita saya mengetahui kalau dia
juga mengundurkan diri dari pekerjaannya di Jakarta sebelum tahun baru. Hal
yang sama terjadi dengan saya. Reza sudah sepuluh hari tinggal dan menikmati
hidup tanpa tuntutan pekerjaan di Bali. Dan dia menawarkan saya tinggal di kostnya
setelah meminta izin kepada bapak kost-nya. Kebutuhan penginapan terpenuhi,
malampun segera berlalu.
Pagi
hari di Legian tidak seramai malamnya. Setelah membeli air mineral yang
harganya dua kali lipat dari harga normal di Indomaret dekat Monumen Bom Bali
saya dan Reza menuju pantai Kuta. Angin sejuk ditambah sesekali buih dari
pecahan ombak menyentuh kulit. Beberapa pedagang dan pemijat menawarkan jasanya
sebagai pelaris pada pagi itu. Tapi yang lebih menarik adalah para pemain
selancar yang mencoba menaklukan ombak atau mereka yang terjatuh saat belajar.
Siangnya
saya berjalan kaki lagi ke halte di depan Galeria dekat patung Dewa Ruci dari
Legian. Di halte saya bertemu seorang ibu yang kakinya baru saja digilas sepeda
motor. Ibu ini telah berjalan kaki selama empat jam karena tidak punya uang
setelah keluar dari rumah majikannya. Beliau belum mendapatkan gaji dari seminggu
bekerja karena Ibu majikannya sedang keluar. Saya membantu menghubungi anaknya
untuk segera menjemput ibunya yang tidak kuat lagi berjalan.
Kaos
dalam dan jaket yang melekat di tubuh basah seperti habis dicuci. Air mineral
1,5 liter yang saya beli pagi tinggal sepertiga botol lagi. Saya mengademkan
diri dalam bus Sarbagita menuju GWK. Tidak banyak penumpang dalam bus ini
walaupun jarak tempuhnya cukup jauh. Setengah jam berikutnya saya sampai di
GWK.
Uang
lima puluh ribu pemberian mas Widodo saya belikan tiket masuk GWK. Dari pintu
masuk saya berjalan lurus sampai ke pagar besi di antara celah batu kapur. Di
sana saya bertemu Marinus penjaga pintu gerbang untuk para pekerja proyek
pembanguan GWK. Setelah bercerita saya mencoba tidur di salah satu kursi kayu
yang ada di dekat gerbang itu. Suasana sejuk, sepi, musik daerah yang mengalun
lembut dan suara burung jalak Bali menjadikan saat itu begitu nikmat untuk
istirahat.
Selain
untuk menikmati dua patung besar--Garuda dan Wisnu-- karya pak Nyoman Nuarta di
GWK saya juga ingin melihat tari Kecak yang akan dipentaskan pada jam setengah
tujuh malam. Ke dua patung besar itu ternyata terbuat dari lempengan tembaga
yang sebelumnya saya kira hasil pahatan dari batu kapur di sana. Beberapa
patung berukuran kecil dan ukiran di dinding dapat juga dinikmati selama di
GWK. Selama menunggu saya mendatangi mushola untuk menunaikan sholat Ashar. Bagunan
Mushola itu bergaya minimalis dan keadaan di dalamnya sangat bersih dan lengkap
hingga rencana saya bertambah.
Kamar
mandi mushola cukup luas memiliki fasilitas
toilet duduk, wastafel, kaca, dan shower. Setelah buang air besar, saya
lanjutkan mandi di bawah guyuran shower lalu bercukur. Saya menunaikan sholat
dalam keadaan segar tanpa bau keringat lalu bersiap menyaksikan pertunjukan
tari Kecak.
Sebelum
menyaksikan tari Kecak saya berbicara dengan kang Dede, karyawan GWK yang
menangani penyewaan Segway. Beliau
mengajak saya untuk naik gunung Batur malamnya. Perjalanan mendadak ke gunung
Batur akan saya ceritakan pada postingan berikutnya. Saya makan malam dengan
harga khusus berkat bantuan seorang teman sebelum menyaksikan tari Kecak.
Tari
Kecak mengangkat cerita pengorbanan Garuda untuk membebaskan ibunya dari
perbudakan setelah kalah taruhan dalam menebak warna kuda Uchisrawa. Tirta Amerta yang disimpan di surga adalah syarat untuk pembebasan ibunda. Tari Kecak menyampaikan cerita lewat tarian yang indah dan narasi yang unik, percakapan para tokoh di-dubbing oleh narator, serta beberapa gerakan lucu seperti goyang itik Zaskia Gotik atau goyang kepala ala Trio Macan melahirkan kejenakaan.
Rasa
bahagia mengiringi perasaan saya selama perjalanan. Kemudahan-kemudahan terjadi
begitu saja tanpa sebelumnya melintas dalam pikiran. Saya menyadari setiap yang
terjadi dalam perjalanan ini saling terkait satu dengan yang lainnya, tidak ada
yang sia-sia. Satu hal lagi yang saya sadari adalah saya sangat bahagia, begitu
mudah untuk bahagia, hingga selalu merasa bahagia.
-Sujud syukur-
Jumat,
23 Januari 2015. Bali
P.S:
Tulisan ini selesai ditulis setelah melawan rasa lelah dari perjalanan pagi di danau, siang di gunung dan sore di pantai yang akan diceritakan pada postingan berikutnya.
saya suka dengan gaya perjalanan anda, mas. selain itu juga saya suka cara anda bertutur. sepertinya saya akan bookmark blog ini, dan membacanya dari awal hehehe. salam kenal dari semarang :)
BalasHapusTerima kasih, mas. Semoga betah berlama-lama di rumah kenangan ini
Hapus