Perjalananmu adalah takdirmu, jangan
biarkan orang lain yang menentukannya. Berjalanlah menurut hati dan pikiranmu.
Tulisan
ini adalah lanjutan dari perasaan bahagia saya ingin berbagi cerita dari
perjalanan ke Bromo kemarin. Perjalanan untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan
dan untuk mengalahkan ketakutan diri.
Sedikit
rasa pesimis bersarang dalam pikiran saya saat mencari tumpangan ke
Probolinggo dari Singosari, Malang, dengan bekal tulisan “Probolinggo. Bisa
bantu nyetir” di belakang kalender bekas. Ini pertama kalinya dalam hidup saya
mencari tumpangan ke suatu tempat yang saya tidak tahu persis rutenya.
Karena itu saya memutuskan untuk melakukannya paling lama dua jam, jika tidak
mendapatkan tumpangan saya akan menggunakan transportasi umum saja.
Menjadi perhatian bagi beberapa pejalan kaki |
Toni,
mahasiswa ITN Malang yang berasal dari Sorong, Papua, memberikan tumpangan
pertama. Dia mengatakan di daerah asalnya sudah biasa memberi tumpangan pada
orang lain, baik dikenal maupun tidak. Namun ketika dia melakukan hal yang sama
di sini, memberikan tumpangan kadang dianggap sebagai sesuatu yang tidak sopan
dan anggapan negatif lainnya.
Toni
yang ingin menjemput keluarganya ke pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya,
menurunkan saya di pertigaan Purwosari. Walaupun tujuan kami berbeda, tumpangan
dari dia sangat membantu karena makin mendekatkan saya dengan tujuan dan
membangkitkan optimisme saya terhadap perjalanan
ini.
Toni pemberi tumpangan pertama dan pembangkit rasa optimis saya |
Baru
saja saya ingin membentang kalender bekas untuk mencari tumpangan berikutnya,
tiba-tiba motor Beat putih berhenti di depan saya. “Saya sudah melihat sampean
di Malang tadi. Saya mau ke Pasuruan, nanti sampean bisa mencari tumpangan lain
di sana” begitulah kata pak Agus setelah membuka kaca helmnya.
Tidak
ada waktu terbuang untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Di atas motor, pak
Agus menjelaskan daerah sepanjang perjalanan, di mana banyak berdiri pabrik
makanan dan minuman yang sangat familiar. Sebagai distributor kosmetik, pak
Agus sering ke daerah sekitar Pasuruan sampai ke Probolinggo. Hari itu belum
jadwalnya ke Probolinggo jadi saya menumpang sampai Pasuruan saja.
Pak
Agus sangat mengejutkan saya ketika kami akan berpisah. Setelah mengucapkan
terima kasih, saya menjabat tangan beliau. Dalam jabat tangannya pak Agus
menyelipkan selembar uang 20 ribu. Sungguh saya terkejut menerima kebaikan yang berkali
lipat dari bapak ini. Tidak ada yang bisa saya berikan untuk dia selain doa
keselamatan dan kebahagiaan untuknya.
Saya
menunggu tumpangan di jalan ke arah Probolinggo yang tadi ditunjukkan oleh pak
Agus. Di depan pasar Kebon Agung saya membentangkan kalender bekas tadi. Lebih
dari satu jam saya tidak melihat truk melintas ke arah Probolinggo dan mobil
biasapun tidak banyak yang melintas di sana. Berbeda dengan arah sebaliknya.
Ternyata jalan Panglima Sudirman tidak boleh dilewati oleh truk yang menuju ke
arah Probolinggo atau ke arah timur.
Saya
mengumpulkan informasi dari beberapa orang tentang jarak dan waktu perjalanan,
serta ongkos bus dari Pasuruan-Probolinggo. Setelah yakin bahwa ongkosnya tidak
besar untuk waktu tempuh sekitar satu jam, saya menaiki bus ke Probolinggo.
Tujuh ribu menjadi pengeluaran pertama saya dalam perjalanan ini.
Di
terminal Probolinggo saya sampai pada jam dua belas siang. Beberapa tukang ojek
menawarkan jasanya dengan berbagai cara. Salah satu yang paling unik adalah seorang
tukang ojek yang membentak, seperti seorang ayah menegur anaknya yang salah
saat menghampiri saya. Saya menolak tawarannya dan memahami kalau cara dia
menawarkan jasanya sudah merupakan gaya bahasa aslinya, bukan suatu yang
disengaja untuk mengancam.
Melanjutkan
perjalanan dari Probolinggo ke Cemoro Lawang rencananya menggunakan mobil Elf
dengan ongkos 35 ribu/orang jika penuh. Setelah menunggu sampai jam empat sore,
hanya ada 7 calon penumpang sedangkan kapasitas mobilnya 15 orang. Jika ingin
berangkat maka setiap penumpang membayar 75 ribu. Harga yang meningkat dua kali
lipat membuat saya mencari alternatif tumpangan ke Cemoro Lawang.
Pak
Maksum, sopir Elf mengatakan mobil sayur adalah pilihan tumpangan ke Cemoro
Lawang. Mobil pertama yang kami tanya saat mengisi bensin di pom dekat terminal
Probolinggo langsung membawa kami ke Sukapura, dari sini Cemoro Lawang berjarak
sekitar 18 kilometer lagi. Hujan mengiringi perjalanan, mas Sukur sopir L300
mengajak kami bertiga duduk di depan agar tidak kehujanan. Beliau mengantarkan
kami sampai pom bensin Sukapura, sekitar 2 kilometer setelah rumahnya.
Berdesakan dalam mobil L300 karena hujan |
Pak
Yono, orang tua mas Samiar menawari kami penginapan dan tumpangan Jeep ke Bromo
dengan harga 400 ribu. Harga yang cukup murah untuk dua jenis pelayanan
tersebut, namun karena memutuskan untuk jalan kaki kami menolaknya. Kami hanya
menyewa pick up mereka untuk mengantarkan ke Cemoro Lawang dengan membayar 50
ribu untuk bertiga.
Mushola
di belakang pos masuk ke Bromo adalah tujuan kami malam itu. Satu orang
menghampiri kami menawarkan penginapan, saya menjelaskan keadaan perjalanan
kami dan meminta ijin tidur di Mushola. Untuk makan malam kami meminta air
panas dari petugas yang kebetulan sedang merebus air untuk mandi.
Jam dua malam kami bangun, setengah jam kemudian mulai jalan kaki menuju Pananjakan
2. Di tengah perjalan pemilik kuda menawari tumpangan dari harga 150 ribu
sampai 50 ribu. Hanya Gilang yang mengambil tawaran itu karena sudah mulai
capek. Jam empat subuh kami sampai di Pananjakan 2 untuk menunggu terbitnya matahari.
Di
Pananjakan 2 kami tidak beruntung dapat menikmati keindahan terbitnya matahari.
Ibu Mintasih, penjual minuman di sana
meminta kami bersabar dulu, menurut dia di sana banyak hal tidak terduga bisa
terjadi, misalnya kabut bisa tiba-tiba saja naik. Saya duduk di dekat ibu
Mintasih untuk menghangatkan diri dengan arang yang dia bakar. Kami bercerita
mengenai keadaan di Bromo, keluarganya, pekerjaannya, dan bahasa Inggrisnya,
serta perjalanan saya. Ibu Mintasih yang asli suku Tengger dan tinggal di
lereng Pananjakan 1 memberi saya dan Ulil teh manis panas. Minuman yang memberikan kehangatan di tengah tiupan angin
dan kabut tebal.
Saya dan teh manis panas dari ibu Mintasih penjual minuman di Pananjakan 2 |
Setelah
turun di Cemoro Lawang, Sahrul menawari saya tumpangan sampai ke Probolinggo
karena satu arah dengan tujuannya, yaitu Surabaya. Suatu tawaran yang sangat
membantu perjalanan saya, karena sebelumnya saya berencana untuk menumpang
mobil sayur lagi. Saya mengendarai motornya sampai di Probolinggo. Setelah itu
Sahrul melanjutkan perjalanannya dan saya mencari tumpangan selanjutnya.
Bersama Sahrul dan motornya yang akan melanjutkan perjalanan ke Surabaya |
Selfie dengan mas Rifa'i sebelum turun |
Setengah
jam berlalu saya mengacungkan jempol dan memegang kardus bertuliskan “Malang/
Purwosari”. Keringat membasahi badan dan wajah saya. Tepat jam dua siang, Honda
Jazz warna keemasan berhenti di belakang saya. Mobil itu dikendarai oleh bapak
Dian Candra, anggota Sabara Polres Pasuruan. Beliau dalam perjalanan
Pasuran-Malang ke tempat orang tuanya memberikan tumpangan berikutnya. Bapak Dian yang akan
menikah pada 14 Februari nanti bercerita kalau beliau juga sering memberikan
tumpangan bagi orang lain.
Bapak Dian Candra |
Masihkah engkau ragu
untuk memulai perjalanan, kawan?
Jumat,
16 Januari 2015. Malang
sangat menginspirasi mas tulisannya, dan mematahkan persepsi kalo traveling itu mahal. mampir juga mas ke blog saya triprajoko.blogspot.com
BalasHapusTri Prajoko: Perjalanan itu adalah pilihan masing-masing, bisa mahal atau murahnya.
BalasHapusBlog kamu bagus, tapi udah lama gak update ya..
Menarik....
BalasHapussaya juga pernah beberapa kali menumpang seperti itu.. heran sendiri, ternyata banyak orang baik yg belum sy temui sebelumnya.
Salam kenal
Fit-ananda.blogspot.com
Benar sekali, masih banyak orang baik di luar sana cuma saja mereka kurang menarik untuk masuk media, karena orang jahat lebih punya nilai berita. Blog kamu tidka bisa dibuka kenapa yah?
Hapuscerita yg menginspirasi....
BalasHapusPertanyaan buat temen2 yg memutuskn resign demi utk keliling indonesia adlh yg pertama umur abg brapa?, yg kedua nggk khawatir nanti selesai keliling indonesia buat nyari2 kerja lg?
jgn lupa bertamu ke blog saya indhpermatasari.blogspot.com :)
Tentang umur saya, baca postingan terbaru pada awal Juli nanti yah :)
HapusCita-cita saya sepulang perjalanan nanti adalah membiarkan ijazah saya tersimpan tenang di tempat sekarang, tanpa harus dibawa-bawa untuk melamar pekerjaan. Terima kasih sudah main-main ke sini Indah
Keren banget ceritanya, keren banget blognya.
BalasHapusMas saya mau tanya dan minta tips dong, saya seorang solo traveller tapi masih area jawa tengah saja. Nah, rencana agustus ini saya mau solo travelling ke bromo. Tapi saya berpikir, kalau saya dengan sistem hitch hiking takutnya nggak aman karena saya perempuan. jadi saya memutuskan untuk planning menggunakan transpotasi kereta/bus dari jogja ke malang. Nah yg ingin saya tanyakan, dari malang itu untuk sampai ke bromo transpotasi apa yg bia digunakan? adakah bus kecil untuk ke bromo? selain itu, setelah sampai bromo apakah harus menyewa jeep untuk bisa sampai ke puncak nya? kalau misal di tempuh dengan jalan kaki bisa nggak?
terimakasih.
Hallo Betty
HapusDari Malang-Probolinggo ada bus langsung, ongkosnya sekitar 30-35 ribu. Dari Probolinggo-Cemoro Lawang bisa naik Elf (mini bus) keterangan biaya dan ketentuan lainnya ada dalam cerita di atas.
Kalau cuma untuk menikmati sunrise, kamu bisa jalan kaki sampai Pananjakan 2, sekitar 1,5 jam dari Cemoro Lawang. Cerita tentang ini ada di blog dengan judul Tidak Ada Sunrise, Pelanginpun Indah di Bromo. Selamat membaca
"Masihkah engkau ragu untuk memulai perjalanan, kawan?" Netes setetes air mataku bang
BalasHapusHusein. wah. Jadi bagaimana jawabanmu untuk pertanyaan itu?
BalasHapussiapa bilang traveling harus mahal? :D keren!
BalasHapusMasih tetap ragu, khususnya tentang keamanannya (seperti yang disampaikan oleh Mbak Betty di atas dan Mbak Fhe Khoiri di postingan sebelumnya, lagi2 karena saya perempuan). Salut banget buat Mbak Fitri Ananda yang pernah hitch hiking seperti Uda. Kira2 untuk memberanikan diri dan meredakan keraguan tersebut gimana ya Uda? Terlebih kalau bepergiannya sendiri.
BalasHapus