Dirimu hari ini adalah wujud dari pikiran-pikiranmu sebelumnya. Bahagialah.
Saya
sangat bahagia ingin menuliskan cerita perjalanan ke Bromo kemarin. Banyak
kejadian yang menumpuk dalam ingatan ingin segera dituliskan. Saya bagi
dua cerita perjalanan ini, satu adalah tulisan yang sedang anda baca, yang
lainnya adalah postingan setelah tulisan ini.
Keindahan
alam Bromo adalah godaan terhebat setelah melihat foto-foto dan videonya dari
internet. Masuk dalam salah satu list tempat yang ingin dikunjungi pada tahun
2014, namun tidak kesampaian. Kemarin keinginan itu terwujud di awal 2015
melalui suatu perjalanan tanpa rencana detil, tanpa anggaran dana yang
mencukupi, tanpa pendamping, namun penuh dengan tekad untuk menantang diri
sendiri dan menghancurkan ketakutan.
Perjalanan
ke Bromo pulang-pergi tidak saya tempuh dengan transportasi umum atau berbayar,
kecuali bus dari Pasuruan-Probolinggo dan mobil pick up dari desa Nadas-Cemoro
Lawang. Saya mendapat tumpangan gratis seperti mobil pribadi, truk, sepeda
motor, dan mobil pengangkut sayur. Pada bagian terakhir tulisan ini akan
sedikit saya jelaskan keadaannya.
Tersalib di lautan pasir |
Selepas
Magrib saya, Ulil dan Gilang (mahasiswa Sistem Informasi, UNDIP) yang sudah
janjian di forum backpackerindonesia.com sampai di Cemoro Lawang. Jalan berbatu
yang basah setelah hujan nampak mengkilap di bawah cahaya lampu. Cuaca dingin
mendorong naluri untuk segera mencari tempat berlindung. Kami tidak mendatangi
home stay atau hotel yang nyaman dengan godaan air panas dan ranjang yang
hangat. Mushola di belakang pos masuk ke Bromo adalah tujuan kami.
Dibangunkan
oleh bunyi alarm pada jam dua subuh menjadi semacam pengingat bahwa perjalanan
sebenarnya akan dimulai, lebih tepatnya berjalan kaki. Setengah jam berikutnya
kami mulai berjalan kaki menuju Pananjakan 2. Kami mengabaikan tawaran
kenyamanan duduk manis di dalam Jeep dari para calo untuk menahan pengeluaran.
Dalam
kegelapan dan kesunyian malam kami menelusuri jalan aspal yang mendaki dan
berkelok. Rayuan duduk santai di punggung kuda datang pada setengah perjalanan.
Dengan mulut yang mengeluarkan asap tipis kami menolak tawaran dari pemilik
kuda, walaupun sudah turun setengah harga. Seruni point adalah tempat untuk
menikmati keindahan proses terbitnya matahari di Pananjakan 2 ini, kami sampai
di sana jam 4 subuh.
Kabut
tebal menemani saat menunggu terbitnya matahari. Setelah satu jam menunggu
hanya kabut putih yang masih terlihat. Satu hal yang paling nikmat di sana
adalah menikmati teh manis hangat. Di Seruni Point ini sudah ada ribuan bahkan
jutaan keindahaan proses terbitnya matahari diabadikan dalam bentuk foto atau
video. Karena itu mungkin hanya ada sedikit yang mengabadikan keindahan kabut
putih dari sana. Jika kalian susah mendapatkannya, kalian bisa temukan pada
foto di bawah ini.
Hanya kabut dan kabut, kalau dua titik hitam itu adalah flek kamera saya |
Kami
mulai melanjutkan perjalanan ke Bromo setelah tiga jam menunggu untuk melihat
matahari. Melihat struktur jalan yang berkelok-kelok, saya yang berjalan di
depan diikuti oleh Ramses turis dari Amerika yang berkenalan waktu di Panajakan 2, Ulil dan Gilang masuk ke kebun petani untuk mecari jalan
pintas. Bukan perjalanan makin singkat yang kami dapatkan, melainkan kami
sampai di bibir jurang dan harus mendaki lagi kembali ke jalan utama. Bahkan Gilang sebelumnya sempat terperosok dan hampir jatuh ke jurang.
Tidak
ada yang sia-sia dari suatu kejadian, begitulah kebesaran Tuhan yang saya
yakini. Kabut yang perlahan naik disambut gerimis beberapa saat menghasilkan pelangi
yang melengkung indah dari dataran pasir ke atas bukit yang ditanami sayuran.
Tidak ada sunrise, pelangipun jadi
suatu keindahan yang diabadikan dan menyenangkan. Setelah itu perjalanan
menyusuri dataran pasir menuju Bromo.
Tidak ada sunrise pelangipun indah |
Dua
menit saja, rasanya tidak lebih dari itu kabut naik hingga puncak-puncak hijau
di sekeliling parkiran Jeep mulai kelihatan. Bidikan kamera dari para
pengunjung lebih sigap mengabadikan keindahan alam ini. Setelah itu kabut
menyelimuti hingga saya pulang pada jam sepuluh pagi.
Detik-detik menikmati keindahan Bromo dari kejauhan |
Salah
satu ketakutan saya adalah ketinggian. Sebelum pulang saya menyempatkan diri
naik ke puncak gunung Bromo. Tangga berwarna hitam dengan paduan kuning menuju
ke sana adalah pertaruhan saya. Saya menjaga padangan fokus pada anak tangga
selanjutnya, ketakutan itu seperti berdendang dalam diri ketika padangan saya diarahkan
ke bawah atau ke puncaknya. Berada di ketinggian menghadapi tiupan angin
kencang dan bau belerang yang menyesak mencampur-adukan perasaan. Jika kalian
melihat ekpresi ketakutan dalam foto di bawah ini, maka kalian tidak salah.
Melawan ketakutan |
Angin
kencang dan bau belerang yang menyesak seperti tidak mengijinkan pengunjung
berlama-lama di sana. Setelah mengambil foto sebagai bukti pencapaian kami
bergegas turun. Tidak ada lagi rasa capek dan takut yang saya rasakan. Setelah
menyelesaikan anak tangga terakhir saya turun dengan berlari riang bagai
perasaan bocah mendapat mainan baru. Ketakutan akan ketinggian terkalahkan,
keinginan mengunjungi Bromo terpenuhi. Saya mengambil foto terakhir sebelum
meninggalkan Bromo. Menurut saya foto ini mewakili seutuhnya perasaan saya
selama perjalanan ini. Kalian benar kalau melihat ekpresi kelelahan, namun
sangat tepat sekali jika kalian juga melihat kebahagiaan yang sangat dalam pada
foto di bawah ini.
Bahagia |
Saya bahagia, saya sangat
bahagia dengan perjalanan ini. Perjalanan yang penuh kesan selama dua hari satu
malam ini hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 25.000,- di luar konsumsi dengan
jumlah yang sama. Jadi kalian bisa menghitung berapa total pengeluaran saya
dari Malang ke Bromo pulang-pergi. Saya memahami jika ada pertanyaan ‘kenapa
bisa’ atau ‘bagaimana caranya’ dalam pikiran kalian saat ini. Karena jawabannya
adalah cerita yang kurang lebih sama panjangnya dengan tulisan ini, maka saya
akan tuliskan pada postingan berikutnya. Namun pada tulisan ini saya akan berikan
salah satu jawabannya lewat foto di bawah ini.
Saya tahu bisa atau tidak bukan dalam pikiran, melaikan setelah melakukannya. |
Rabu, 14 Januari 2015. Malang
waah kereen. kalo untuk cewek masih extream pake cara ini, hehee
BalasHapusDear Fhe Khoiri
BalasHapusMungkin saja, tapi masih ada kemungkinan lain yang lebih besar.
salam dari padang bang!
BalasHapuswah, sepertinya banyak peristiwa yang sudah bang lewati.
baca beberapa posting ini jadi ingat film "into the wild" tapi jangan seektrim film itu ya bang.
jee tunggu posting selanjutnya ^^
Haloo Jee
BalasHapusSudah lama kita gak cerita-cerita yah. Sedikit banyak film yang dulu pernah kita bahas mempengaruhi perjalanan ini.
Sering-seringlah berkunjung ke sini Jee.