Dalam waktu yang terus
berputar kamu berjalan dari satu pilihan ke pilihan lainnya. Siapapun engkau
pilihan selalu ada, apakah kau akan seberani mereka yang memilih? Atau sepasrah
mereka yang hanya menerima? Atau sepengecut mereka yang selalu menyalahkan?
Itulah dirimu.
Bagi
yang belum pernah ke Bali, tentu saja bingung mau mengunjungi objek wisata apa
saja di antara banyak pilihan yang tersedia. Begitulah yang saya alami
sebelumnya. Selain dari cerita teman-teman, informasi dari internet dan tentu
saja blog-nya traveller menjadi referensi. Ada empat objek wisata yang saya
pilih pada awalnya, yaitu Garuda Wisnu Kencana karena saya penasaran dengan
patung-patung yang berukuran besar, Tari Kecak di Uluwatu dengan latar belakang
sunset-nya, Museum Blanco karena keunikan frame dan lukisan itu sendiri,
menikmati sunset di pantai Kuta yang ramai, dan parasailing di Tanjung Benoa
karena penasaran setelah beberapa kali mengantar tamu ke sana.
Sunset
di pantai Kuta
Hari
kedua di Bali saya mengunjungi pantai kuta untuk memenuhi keinginan pertama.
Setelah turun di halte dekat mall Galleria, saya berjalan kaki sekitar 1
kilometer lebih untuk sampai di pantai. Membawa dua tas dengan muatan padat dan
berjalan di tengah cuaca panas membuat baju sampai jaket yang saya pakai basah
oleh keringat. Rasa capek itu terkalahkan oleh rasa puas setelah sampai di pantai.
Saya
menikmati angin sejuk di bawah pepohonan sambil menulis catatan perjalanan,
diiringi gemuruh ombak yang tiada putus-putus. Pengunjung pantai belum terlalu
ramai karena matahari masih tinggi. Beberapa turis luar berjemur dan membaca
buku, menikmati bir dingin sambil bercerita, beberapa turis lokal sibuk
mengambil foto dengan tongsis atau selfie dengan gadget masing-masing, di laut
pemain selancar menikmati gulungan ombak, dan pedagang keliling menghampiri
para pengunjung pantai menawarkan dagangannya.
Menjelang
matahari menyentuh garis antara laut dan cakrawala, pantai semakin ramai.
Langit memancarkan warna kemerahan, kuning dan ungu. Kumpulan awan menjadi
semacam goresan lukisan di kanvas langit, pantulan cahaya matahari di laut
bagai suatu jalan suci yang akan segera pergi, pengunjung pantai makin sigap
mengabadikan momen keindahan dengan gadget masing-masing. Ketika rasa penasaran
terpenuhi, di situlah saya merasa bahagia.
Patung
Besar di Garuda Wisnu Kencana
Keinginan
ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) sudah ada dalam pikiran saya jauh sebelum
perjalanan ini, berawal dari melihat foto teman dengan latar belakang patung
besar dan potongan-potongan batu kapur yang berdiri rapi sangat menggoda. Saya
kembali jalan kaki dari Legian sampai halte bus dekat mall Galleria sebelum
menumpangi bus Sarbagita ke GWK.
Sebelumnya
sempat ada rencana untuk membatalkan keinginan ke GWK karena pertimbangan biaya
masuknya yang cukup besar yaitu 50 ribu. Angka yang cukup besar bagi backpacker
yang sudah menghabiskan separoh budget yang dimilikinya pada hari ke dua puluh
perjalanannya.
Sebelum
melihat dari dekat dua patung besar di GWK, yang ada dalam pikiran saya adalah
kedua patung itu merupakan bukit atau batu yang dipahat sedemikian rupa seperti
patung beberapa kepala presiden Amerika. Setelah melihat dari dekat barulah
saya menyadari kalau kedua patung besar itu terbuat dari potongan-potongan
tembaga yang beratnya mencapat ratusan ton.
Hanya
dua saja patung berukuran besar yang dapat dinikmati di GWK sat ini, patung
tangan Wisnu belum bisa diakses wisatawan sedangkan patung yang paling besar masih
dalam proses pembangunan dan baru akan selesai pada tahun 2016, dan nantinya
akan menjadi patung tertinggi di Indonesia dengan ketinggian mencapai 126
meter.
Tari
Kecak di Uluwatu
Saya
bukanlah penggemar tari-tarian, namun setelah membaca salah satu blog pariwisata
di Bali saya langsung penasaran untuk menyaksikan Tari Kecak. Karena biaya yang
sangat terbatas sedangkan keinginan harus dituntaskan saya mencari alternatif
untuk memenuhi semuanya. Saya menunggu pementasan tari Kecak di GWK yang
dimulai pada pukul 18.20. Karena waktu menunggu yang cukup lama, maka saya bisa
melakukan banyak kegiatan di GWK, salah satunya adalah INI.
Tari
Kecak di GWK kurang lebih selama 30 menit dan itu belum memenuhi ekspektasi
saya yang tinggi dari blog yang saya baca. Sebelum meninggalkan Bali saya ingin
menyaksikan tari Kecak di Uluwatu. Kesempatan itu datang pada minggu ketiga
saya di Bali, karena menjadi tour driver keluarga pak Anwardin dari Jogja. Ana,
cucu beliau sangat ingin menonton tari Kecak di Uluwatu dan sebagai tour driver
saya dapat mendampingi mereka.
Saya
menyaksikan tari Kecak pertama kalinya di Uluwatu bukan sebagai penonton resmi
yang duduk di tribun. Saya berdiri di luar panggung bersama para driver dan
guide untuk dapat menyaksikan kelucuan Hanoman, liciknya Rahwana dan
memukaunya atraksi permainan api. Namun pada minggu keempat di Bali, saya dapat
menonton tari Kecak sebagai penonton resmi yang duduk di tribun dan menyaksikan
tari Kecak selama satu jam dengan latar belakang sunset yang indah. Apakah saya
membayar tiket seharga 100 ribu yang rasanya begitu mahal? Tidak, saya dapat
menonton tari Kecak karena menjadi fasilitator Karash yang menjadi provider
training karyawan Petrofin di Bali.
Museum
Blanco
Museum
Blanco adalah salah satu tempat yang sangat ingin saya kunjungi. Kesempatan
untuk mengunjunginya datang pada tiga hari terakhir saya di Bali karena mendampingi
mbak Anita, mbak Ririn dan Widya jalan-jalan di Bali. Hujan turun dalam
perjalanan ke desa Tegallalang dan Kintamani, dan akhirnya perjalanan ke
Kintamani dialihkan ke musem Blanco.
Kami
sampai di Museum Blanco tidak lama setelah hujan berhenti, suasana sangat sejuk
dan nyaman. Museum ini terletak di pinggir tebing dan dikelilingi bagunan villa
dan sawah. Sebelum masuk ke museum, kami disambut oleh beberapa ekor burung
kakak tua peliharaan keluarga Blanco. Burung-burung jinak yang dapat berdiri di
tangan namun akan marah jika kita mencoba mengelus kepalanya.
Karya
lukisan dalam museum didominasi oleh objek manusia yang sebagian besar merupakan
keluarga dari Antonio Blanco, beberapa lukisan memiliki objek wanita tanpa
penutup dada. Frame dari setiap lukisan adalah hal menarik dari museum Blanco,
karena frame menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lukisan itu sendiri.
Menikmati setiap lukisan diiringi musik syahdu berbahasa Spanyol dan penerangan
yang tepat makin lengkap ketika didampingi oleh staff museum.
Bli
Komang (saya lupa namanya) menjelaskan cerita mengenai lukisan-lukisan yang
dipajang di museum. Sangat menarik sekali pemaparan tentang latar belakang
lukisan dan teka-teki yang dimiliki oleh beberapa lukisan, salah satunya adalah
berapa jumlah botol dalam satu lukisan. Ruang lukisan untuk 17 tahun ke atas
memiliki sensasi tersendiri. Lukisan adegan “bikin anak” yang tertutup pintu,
kelamin manusia yang menghamili tikus, ular masturbasi, foto perempuan dengan gaya
telanjang menantang adalah bagian dari ruangan ini. Jika anda membawa anak
kecil disarankan untuk tidak membawanya ke ruangan ini, atau anda harus siap
menjawab pertanyaan hebat dari mereka.
Parasailing
di Tanjung Benoa
Beberapa
kali mengantar tamu yang ingin menikmati permainan air di Tanjung Benoa membuat
saya penasaran untuk mencoba permainan parasailing. Parasailing satu-satunya
permainan yang sangat ingin saya coba. Melayang selama 15 menit di udara dengan
ketinggian 40 menter di atas permukaan laut sungguh terasa menantang. Saya ingin
menaklukan ketakutan pada ketinggian. Namun karena beberapa hal keinginan ini
belum terpenuhi walaupun sudah direncanakan sebelumnya.
Saya
sangat bersyukur atas kesempatan dapat mengunjungi tempat-tempat wisata yang
diinginkan. Pada umumnya semua itu dapat diakses dengan cuma-cuma kecuali
mengunjungi GWK pertama kalinya. Empat tempat wisata itulah yang saya pilih di
antara banyak pilihan yang tersedia di Bali. Pilihanmu adalah bagian dari
dirimu dan akan menunjukkan siapa dirimu. Bagaimana dengan kalian, tempat apa
saja yang ingin kalian kunjungi saat datang ke Bali? Jangan sungkan untuk
berbagi di sini..
Kamis,
5 Maret 2015. Lombok
P.S:
Tulisan ini baru selesai setelah saya sampai di Lombok. Perjalanan Bali-Lombok
saya dapatkan dengan cuma-cuma karena “dikasih” motor dari Bali oleh pedagang
motor bekas asal Lombok. Pada postingan berikutnya akan saya ceritakan.
0 comments:
Posting Komentar