Jelajah
Bima bagian kedua
Langit
menyisakan sedikit guratan merah di antara warna biru yang berkuasa. Cuaca sejuk dan udara yang bersih
memanjakan orang-orang yang berlari atau sekadar jalan-jalan santai pada pagi
itu. Jalanan aspal yang berkelok-kelok sudah dilewati puluhan orang yang didominasi
anak sekolahan sejak subuhnya. Sebagian besar memakai pakaian olahraga, dan
sebagian lainnya berpakaian kasual, serta beberapa gadis belasan tahun tampak
menggunakan make-up yang menyamarkan kebeliaan mereka.
Bagai
garis akhir dari suatu perlombaan, Dana Traha menjadi tujuan semua orang-orang
yang ditemui pagi itu. Dana Traha adalah komplek pemakaman kesultanan Bima yang terletak di puncak bukit tepat di atas
kota Bima. Ketika terang belum sepenuhnya menjamah kota Bima, masyarakat sudah
banyak berkumpul di sini. Melepas penat atau sekadar menikmati cahaya matahari
yang menembus sela dedaunan dan menciptakan garis cahaya yang indah di antara kabut
tipis.
Di
kejauhan pelabuhan Bima tampak tabah menyambut dan melepas kapal-kapal.
Ketenangan pagi itu pecah oleh suara klakson dari salah satu kapal. Menjadi
penanda suatu perjalanan baru akan segera dimulai. Geliat kota Bima mulai
terlihat dari arus di jalanan yang membelah kota. Beberapa masjid tampil
mencolok karena menara dan kubahnya di antara bangunan lain. Sementara itu,
bukit-bukit di seberang Teluk Bima nampak anggun dengan warna hijau tua yang
masih berselimut kabut di puncaknya. Kopi panas yang dijual di depan komplek
makam yang masih terkunci itu dapat menemanimu menikmati semuanya.
Ketika
masyarakat di kota-kota besar berkumpul pada Minggu pagi di area car free day, Kota Bima punya Dana Traha
untuk berkumpul masyarakatnya dan saling bersosialisasi di sini. Saya mengajak
Devanosa a.k.a Devmin Catatan Backpacker pada hari keduanya di Bima. Tidak puas
hanya dengan berdiri di depan komplek makam, kami menulusuri sisi bukit untuk
sampai di batu yang berada di ujung bukit. Dari sini sudut pandang lebih luas
untuk menikmati kota Bima dari ketinggian. Dana Traha seperti mengajak penduduk
kota Bima untuk melihat rumah masing-masing, melihat jalan-jalan yang mereka
lewati setiap hari, melihat rutinitas yang mereka jalani, dan juga melihat rumah
pada akhir perjalanan kehidupan mereka nantinya.
***
Sembari
menunggu ban motor diganti, saya dan Devanosa blusukan ke Pasar Raya kota Bima
yang terletak cukup dekat dengan bengkel. Sebelumnya kami sudah diberi tahu
oleh bu Hani tentang kondisi pasar itu. Tentu saja rasa penasaran membawa kami
ke sana, selain untuk membeli beberapa kebutuhan sebelum kembali ke dusun
Tololai.
Setelah
melewati gang kecil di antara bangunan ruko, di ujung gang kami disambut oleh
barisan tukang ojek. Suasana pasar tradisional langsung terasa. Ibu-ibu membawa
beberapa kantong plastik ukuran sedang dan besar berisi belanjaan di satu
tangan, tangan yang lainnya memegang dompet serta kantong belanjaan ukuran
kecil. Riuh tawar menawar serta senda gurau begitu renyah terdengar. Sahutan penjual
saling bergantian kepada setiap pengunjung yang lewat di depan lapak mereka, tentu
bukan sahutan “boleh kakak, lihat-lihat dulu aja, kami lagi ada sale”.
Kami
menembus kerumunan ibu-ibu, jalanan becek membuat pengunjung berjalan lebih
hati-hati, kecuali mereka yang menggunakan sepatu boots dapat melenggang begitu
saja. Lebih jauh ke dalam pasar, air berwarna hitam menggenang di jalannya,
namun hal itu tidak mengurangi antusias pengunjung untuk terus menelusuri seisi
pasar guna memenuhi kebutuhan dapur. Terpal warna-warni melindungi pengunjung
dari cahaya matahari atau air hujan.
Setelah
mendapatkan beberapa barang yang dibutuhkan, sebelum meninggalkan pasar kami
mencari suatu tempat yang wajib dikunjungi. Tempat itu adalah tempat mencuci
kaki. Beberapa ibu-ibu terlihat sedang mengelilingi baskom hitam berisi air
bersih. Usaha menyediakan air untuk pencuci kaki itu berada di parkiran motor
sebelum keluar pasar. Air dialirkan ke baskom melalui selang warna biru dari
dirijen putih yang berjejeran di sekitarnya. Setiap kali mencuci pengunjung
membayar seribu rupiah. Usaha yang unik dan sangat tepat dengan kondisi pasar
tradisional ini. Namun, usaha ini tidak akan bertahan selamanya, karena pasar
baru yang lebih nyaman sedang dibangun oleh pemerintah. Doakan saja semoga
cepat selesai dan segera menghadirkan kenyamanan bagi pengunjung pasar. Lembo ade
Senin,
27 April 2015. Bima
0 comments:
Posting Komentar