Cerita perjalanan pertama di Bima
Pada
hari-hari pertama di Tololai, Ambalawi, saya sangat penasaran untuk menjelajah
daerah sekitarnya. Alasan utamanya adalah daerah ini berada di sepanjang pantai
bagian Utara pulau Sumbawa dengan ombak yang relatif kecil dan air yang jernih.
Berenang menjadi pilihan yang tepat untuk menikmati kondisi laut seperti ini.
Referensi dari penduduk lokal menjadi acuan saya tentang tempat yang bagus di
daerah mereka. Pantai Oi Fanda adalah satu tempat yang disebutkan seorang
penduduk dan diiyakan oleh yang lainnya.
Menjelang
sore pada hari ketiga di Tololai dengan ditemani pak Wawan dan pak Indir saya
dan mas Budi teman seperjalanan sejak dari Lombok berangkat ke pantai Oi Fanda.
Menempuh perjalanan sekitar 10 menit dari desa Nipa, melewati jalan tanah dan
berbatu karena belum tersentuh pembangunan. Beberapa bagian jalan ambrol akibat
pengikisan oleh air laut, karena itu pengendara harus lebih hati-hati jika
ingin ke sini.
Gradasi
warna hijau air laut, suasana pantai yang sepi, ombak kecil dan hamparan pasir
yang tidak begitu luas terihat dari batu karang yang berada sebelum pantai. Berdiri
di sini kita dapat menikmati suasana keseluruhan pantai yang mirip teluk kecil karena
diapit oleh dua bukit. Dari kejauhan rombongan sapi tampak sedang menikmati
tidur santai di bibir pantai, bagai turis luar yang menjemur diri untuk
mendapatkan warna kulit eksotis.
Jalan
kecil menurun membawa ke pantai Oi Fanda, gugusan pohon kelapa yang rapat
nampak mencolok dibandingkan pohon pandan yang hanya beberapa batang tersisa.
Menurut pak Wawan di pantai ini dulunya banyak sekali tumbuh pohon pandan
(Fanda) yang melekat sebagai nama pantainya. Pantai kecil yang indah ini belum
dinikmati oleh banyak orang, terutama karena akses yang agak sulit, dan
banyaknya sampah alam, kotoran ternak, dan sampah plastik di bibir pantai. Laut
pada bagian tengah pantai ini masih kelihatan pasirnya di tengah jernihnya air,
tidak seperti bagian pinggir ke arah batu karang yang padat ditumbuhi rumput
laut liar.
***
Suatu
sejarah dan ceritanya banyak tersimpan dalam suatu bangunan yang disebut museum.
Seperti sejarah kehidupan dan kerajaan Bima pada masa lalu banyak tersimpan
dalam Museum Asi Mbojo yang berada dalam komplek kesultanan Bima di pusat kota
Bima.
Berada
tepat di pusat kota, tidak jauh dari terminal, membuat Museum Asi Mbojo begitu
mudah untuk ditemukan. Di sini disimpan berbagai koleksi senjata dan mahkota
yang digunakan oleh raja dan pimpinan-pimpinan kerajaan lainnya, senjata yang
pada umumnya terbuat dari emas, perak dan berlian, begitupun dengan
perlengkapan upacara. Beberapa peralatan pertanian yang digunakan pada masa
lalu, alat-alat kesenian, pakaian khas kesultanan, perlengkapan perang, dan
beberapa benda bersejarah lainnya melengkapi koleksi museum ini. Menariknya
dari semua koleksi yang tersimpan, sekitar 90% koleksinya masih asli dan
terawat, bukan replika seperti di beberapa museum lainnya. Menurut informasinya
total nilai dari koleksi museum ini mencapai dua milyar rupiah.
Menurut
guide yang mendampingi, koleksi ini bisa terjaga keasliannya tanpa ada yang
mencuri karena telah dilindungi dengan sumpah. Jika ada yang mencuri koleksi
ini, kehidupan dia bisa hancur dari sisi ekonomi, keturunan, dan nyawa
sekalipun. Sumpah menjadi salah satu kekuatan yang dipercaya oleh masyarakat
Bima sebagai pelindung dan tradisi yang masih eksis sampai saat ini.
Di
lantai dua Asi Mbojo terdapat kamar-kamar yang dulunya dihuni oleh raja dan
anak-anaknya. Tiga kamar masih menyimpan ranjang asli buatan Eropa yang masuk
ke Bima sekitar tahun 1930, ranjang ini dulunya digunakan oleh raja dan keluarganya.
Salah satu kamar di sini pernah ditempati oleh presiden Soekarno dalam
kunjungannya ke kesultanan Bima sebelum kemerdekaan. Beberapa furnitur yang
tersimpan dalam kamar juga masih asli dan terawat seperti, meja rias, wastafel,
lemari, dan sekat tempat ganti pakaian.
Kamar yang pernah ditempati Soekarno |
Satu hal lain yang menarik dari museum Asi Mbojo adalah, kita tidak bisa bebas mengambil foto. Sebelum mengambil foto disarankan untuk meminta izin terlebih dahulu, baik secara lisan atau dalam hati. Konon, kalau tidak mendapat izin, foto yang diambil tidak akan bisa terlihat dalam gadget yang dipakai. Di lantai dua juga terdapat ruangan eksekusi dan ruangan jin yang bersebelahan dengan ruang untuk tidur pembantu. Suara kelelawar akan menemani selama berada di dekat ketiga ruangan tersebut. Saya tidak mendapat cerita lebih detail tentang ruang eksekusi dan ruangan jin. Pengunjung dilarang masuk ke dalam dua ruangan tersebut. Alasan yang paling masuk akal adalah karena kedua ruangan itu tidak memiliki tiang-tiang penyangga dan lantai yang kuat.
Di
dalam museum juga menjual beberapa oleh-oleh seperti pisau dan gelas dari pohon
bidara yang dapat mengubah air putih biasa menjadi pahit. Semua oleh-oleh itu
dijual dengan harga yang sangat terjangkau, seperti biaya masuk ke dalam museum
yang hanya dua ribu rupiah, dan tips seikhlasnya untuk guide yang dapat
memberikan informasi lebih jelas tentang musuem dan koleksinya.
Selasa, 7 April 2015. Bima
aiihhhh, sapi..hahaha
BalasHapusabang Guri, tulisan cerita perjalanan dari lombok k bima di jelaskan juga dong, biar bisa buat referensi nantinya hehehehe
BalasHapussebelumnya terima kasih....
Hallo Syafiul, dari Lombok ke Bima saya naik bus SuryaKencana waktu itu, karena sekalian ikut beliau dan dengan membayar ongkos sebesar 200 ribu. Jadi perjalanannya biasa saja menurut saya, karena itu tidak dituliskan di blog ini. Terima kasih sudag main-main ke sini
BalasHapus