Pagi di Puncak Kaldera |
Dua
ratus tahun yang lalu dia masih berdiri kokoh dan menjulang tinggi, konon
menjadi yang tertinggi di negeri ini. Lalu sebuah letusan memangkas separuhnya,
letusan yang akibatnya dirasakan oleh hampir separuh manusia di bumi. Tambora,
dalam bahasa Bima yang berarti ajakan moksa atau ajakan untuk menghilang,
sekarang menyambut untuk dikenang.
Tambora
Menyapa Dunia adalah event yang digagas oleh pemerintah NTB untuk mengenang
letusan dahsyat Gunung Tambora yang terjadi dua abad yang lalu. Berbagai acara
untuk memeriahkan diselenggarakan, termasuk mulai dibukanya pendakian untuk umum
sejak tanggal 1 April 2015. Ratusan atau mungkin ribuan pendaki melakukan
perjalanan menuju puncak Tambora, melihat sisa-sisa dari letusan yang maha
besar, dan saya senang menjadi salah satu dari mereka.
Kamis
siang saya sampai di lapangan Pancasila, ikut bersama rombongan SMKN 3 Bima
yang akan mengikuti Jambore Seni Pelajar selama tiga hari di kaki gunung
Tambora. Rombongan yang saya ikuti ini tidak mengagendakan pendakian, karena
itu saya harus mencari teman untuk melakukan pendakian. Beruntung saat pagi
hari Jumat, saya bertemu dengan rombongan dari SMAN 1 Bima yang akan mendaki
pada paginya dan bergabung dengan mereka. Setelah sarapan secukupnya dan
membeli logistik, pendakian menuju puncak Tambora dimulai sekitar pukul
setengah delapan pagi.
Setelah
berdoa bersama dan briefing singkat
tentang formasi tim, kami mulai berjalan menyusuri jalan tanah landai menembus
kebun kopi peninggalan Belanda. Dari kebun kopi inilah dihasilkan kopi Tambora
yang memiliki rasa yang khas itu. Saya berada paling belakang dengan bang
Herman, pimpinan rombongan yang berjumlah empat belas orang. Perjalanan selama
dua jam untuk sampai di pos Portal tidak begitu terasa, bang Herman banyak
bercerita mengenai gunung Tambora dan pengalaman ayahnya yang merupakan polisi
hutan di tempat yang sama.
Pos
Portal merupakan ujung dari jalan tanah yang cukup luas, di sini ojek berhenti
menurunkan penumpang yang membayar lima puluh ribu dari lapangan Pancasila. Di
sini juga ada pedagang dadakan yang menjual makanan dan minuman. Saya membeli
pisang untuk menambah energi sebagai pelengkap dari sarapan mie tadi pagi.
Setelah itu perjalanan dilanjutkan menembus kebun kopi dan hutan melalui jalan
setapak menuju Pos 1 jalur Pancasila. Perjalanan melewati pohon-pohon kelanggo
besar, baik yang masih berdiri tegak maupun yang sudah mati melintang di jalan.
Lalu hujan turun di tengah perjalanan, jas hujan yang telah saya siapkan dengan
menarohnya di tempat yang mudah dijangkau melindungi tubuh dari basah kuyup.
Beberapa ekor pacet tampak meliuk-liukan tubuhnya di pohon besar melintang di
jalan.
Kami
sampai di Pos 1 pukul sebelas siang, saat hujan hanya menyisakan gerimis kecil.
Di sini kami bergabung dengan puluhan pendaki lain yang sudah berkumpul di
sana, baik yang ingin melanjutkan pendakian maupun yang sudah bersiap turun.
Pos 1 menyediakan sumber air bersih yang melimpah dan dua WC darurat yang
ditutupi terpal plastik untuk memanjakan pendaki. Setelah selesai makan siang,
rombongan melanjutkan perjalanan pada jam satu siang, beriringan dengan hujan
yang kembali turun.
Melanjutkan
perjalanan ke Pos 2 di jalur Pancasila membutuhkan waktu sekitar dua jam dari
Pos 1. Hujan berhenti sejenak, lalu berlanjut lagi untuk waktu yang lebih lama.
Jalan licin dan kayu-kayu besar yang melintang di tengah jalan membuat
perjalanan terasa lebih menantang. Saya dan bang Herman berjalan jauh di
belakang rombongan karena seringkali berhenti dan mengobrol dengan para pendaki
yang berpapasan saat mereka turun. Pada umumnya pendaki yang berpapasan dengan
kami hari itu berasal dari Makassar, menurut salah satu dari mereka ada sekitar
dua ratusan orang, baik yang sedang turun atau masih tinggal di atas, “Di atas
ada yang jual Coto Makassar,” sahut seorang lainnya sambil bercanda karena
begitu banyaknya orang dari Makassar yang ikut acara ini.
Menjelang
sampai di Pos 2, rasa lapar mengusik perjalanan. Hal yang sama juga dirasakan
oleh bang Herman. Buah hutan yang berwarna hitam kecil dengan rasa kecut manis
tidak mampu mengatasinya, malahan membangkitkan maag bang Herman. Sial bagi
kami berdua, tidak menyimpan logistik apapun dalam carrier masing-masing, karena semua telah diserahkan ke anggota tim
yang lain. Mengingat-ngingat isi tas masing-masing, bang Herman membuka tasnya
lalu mengeluarkan nesting yang dipakai memasak sebelumnya. Di dalamnya terdapat
sisa mie rebus yang telah membengkak. Kami menikmati mie di tengah gerimis di
bawah rimbunan belukar. Ah... Cukup
sedap dan memberikan ketenangan pada lambung yang sepertinya bekerja lebih
cepat dari biasanya.
Dua
jam berikutnya, tepat jam tiga sore kami sampai di Pos 2. Suasana tidak jauh
berbeda dengan pos sebelumnya, ramai dan hangat. Tegur sapa dan tawaran mampir
begitu ringan terdengar. Di sini kami hanya mengisi persediaan air dari sungai
kecil yang mengalir tidak jauh dari pos, serta makan kue kering sebagai
penambah tenaga. Sisa-sisa hujan masih jelas terlihat pada dedaunan yang basah
dan jalanan becek yang licin. Bau hutan semerbak. Perjalanan menuju Pos 3
dilanjutkan, menempuh vegetasi yang padat dan melewati beberapa terowongan
belukar. Jalanan dan akar tumbuhan menjadi semakin licin, nyamuk gesit mencari
celah untuk mengisap darah. Jarak Pos 2 ke Pos 3 merupakan jarak antar pos
paling jauh, setidaknya butuh empat jam untuk sampai ke Pos 3. Selepas magrib
saat gelap mulai membatasi jarak pandang kami sampai.
Tenda
warna-warni telah terpasang memadati Pos 3. Begitu rapat hingga tidak
menyisakan tempat kosong untuk pendaki berikutnya yang ingin mendirikan tenda.
Nesting terlihat tersusun rapi di atas kompor gas kecil, periuk-periuk
tergantung di atas api unggun. Cahaya senter tampak berpendar di antara kepulan
asap. Menjadi pemandangan unik di bawah hamparan langit penuh bintang-bintang
yang sesekali mengedip. Semua bersiap untuk makan malam dan beristirahat
sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak pada tengah malamnya. Beberapa pendaki
menunaikan sholat di tengah suasana riuh Pos 3 dan sebagian lagi menembus
belukar untuk mengambil air yang jaraknya cukup jauh. Kami membuka perlengkapan
memasak di bagian atas Pos 3 yang masih tersisa, sedikit tempat kosong yang
agak miring di pinggir jalan menuju Pos 4.
Menu
makan malam kali ini adalah ikan teri goreng dan mie rebus yang merupakan
makanan kebangsaan para pendaki. Makanan mampu memberikan sedikit kehangatan
melawan suhu dingin yang mulai menjamah kulit. Saya memasang sweater dan sarung tangan sebelum melanjutkan perjalanan ke pos
berikutnya. Langit sangat cerah hingga menampakkan ribuan bintang yang
memanjakan mata. Suatu keindahan yang mungkin hanya dapat dinikmati saat berada
di gunung. Jam setengah sepuluh perjalanan kami lanjutkan menuju Pos 5, pos
terakhir sebelum puncak kaldera gunung Tambora. Untuk sejenak rasa capek dari
berjalan seharian dilupakan. Saatnya menguji diri sampai batas kemampuan.
Pos
4 kami lewati sekitar satu jam berikutnya, setelah menempuh beberapa tempat
yang dipenuhi jelatang hutan yang terkenal dengan rasa gatalnya. Beruntung
tidak ada satupun dari kami yang terkena dedaunan yang berbisa itu. Di Pos 4
hanya ada dua rombongan pendaki yang sedang beristirahat tanpa mendirikan
tenda. Tidak adanya sumber air membuat Pos 4 tidak menjadi tempat favorit untuk
mendirikan tenda, walaupun bagian datar cukup luas di sini. Menuju Pos 5
vegetasi mulai berganti. Kiri kanan jalan dipenuhi ilalang dan pohon cemara
yang menjulang menjadi siluet dalam malam.
Kami
sampai di Pos 5 tepat jam dua belas tengah malam, suasana di sini tidak seramai
di Pos 3. Anggota tim bergegas mendirikan dua tenda untuk rombongan. Saya
mengumpulkan kayu kering untuk dibakar dan mencari kayu bercabang untuk tempat
menggantung periuk. Kayu kering sangat mudah dan banyak ditemukan di Pos 5
namun tidak sama dengan kayu yang masih hidup. Saya masuk ke rimbunan belukar
yang agak jauh dari tenda. Di dekat belukar yang cukup lebat tiba-tiba kepala
bagian belakang menjadi sakit. Sangat sakit, bagai ditekan oleh benda keras.
Saya meninggalkan tempat itu dan beralih ke rimbunan belukar lain. Perlahan
sakitnya mulai hilang. Paginya sebelum menuju puncak kami sedikit tersesat ke
rimbunan belukar yang sama, dan kejadian yang sama kembali terjadi pada kepala
saya. Saya hanya menceritakan kejadian ini kepada bang Herman, beliau
menganjurkan untuk lebih hati-hati dan menjauhi tempat itu.
Berbekal Baymax nama untuk sleeping bag, saya
tidur di samping api unggun. Sekitar dua jam tidur saya bangun lalu menyerahkan
sleeping bag kepada Tino, salah
seorang anggota rombongan yang pada saat saya bangun terlihat hanya duduk di
dekat api unggun. Beliau lalu mengurung diri dalam pelukan hangat Baymax dan
menggantikan posisi tidur saya sebelumnya. Saya mengambil kopi dan mulai
merebus air. Langit makin cerah dengan tambahan cahaya bulan. Awan tipis
bergerak perlahan untuk melengkapi keanggunan ciptaan Tuhan pada malam itu.
Tapi sayang, kamera hape saya tidak mampu mengabadikan keindahan langit malam
itu. Adakalanya suatu keindahan hanya untuk kita nikmati sendiri tanpa harus
dibagi.
Puluhan
cahaya senter nampak bergerak ke arah tenda kami yang berada di samping jalan
menuju puncak. Cahaya itu berkelebat diiringi suara nafas yang memburu karena
kontur jalan menuju puncak mulai agak curam. Saya melihat semua rombongan tidur
sangat lelap setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas jam. Jam empat saya
membangunkan bang Herman sebagai pimpinan rombongan, lalu secara estafet
membangunkan anggota yang lainnya. Setelah mencukupi persediaan air, kami mulai
berjalan menuju puncak setengah jam berikutnya. Jalan menanjak terasa begitu
berat, hingga hanya butuh beberapa menit untuk membuat tubuh hangat dan
berkeringat.
Langit
mulai terang dengan gradasi warna biru dan putih saat kami sampai di daerah
berpasir sebelum puncak kaldera. Telat. Sunrise dari puncak Kaldera Gunung
Tambora tidak sempat kami nikmati seperti puluhan pendaki yang tampak
dikejauhan dengan cahaya kecil di kepalanya. Mereka adalah pendaki yang telah
melewati Pos 5 sejak pukul tiga dini hari saat semua tim kami masih tertidur
lelap. Angin kencang bertiup sesekali mengantarkan rasa dingin saat cahaya
matahari telah menerangi jalan menuju puncak sepenuhnya. Dua setengah jam
berikutnya kami sampai di puncak Kaldera. Seperti biasa mengambil foto adalah
hal yang tidak terlewatkan selain dari mengucap rasa syukur atas keberhasilan
perjalanan.
Kaldera
atau kawah dengan diameter sekitar delapan kilometer itu hanya terlihat separoh
karena separohnya lagi sudah ditutupi oleh kabut. Saya merasakan ketakutan pada
ketinggian mulai hilang, karena mulai nyaman berdiri di pinggir kawah tanpa
pagar pengaman. Namun tiupan angin yang kencang tetap membuat saya lebih
hati-hati dan segera beranjak menjauh dari bibir tebing dengan ketinggian
sekitar satu kilometer itu. Perlahan kabut mulai membatasi pandangan. Satu per
satu puncak yang ada di sana menghilang dari pandangan, begitupun suasana ramai
juga lenyap. Duh... Tambora serasa
benar-benar telah menghilangkan apa-apa yang ada di atasnya. Kami terpisah
menjadi tiga kelompok kecil di puncak Kaldera seluas lebih dari tiga kali
lapangan bola.
Puncak
Bendera begitulah para pendaki menyebut salah satu puncak tertinggi yang ada di
gunung Tambora. “Belum afdol mendaki ke Tambora kalau belum sampai di puncak
Bendera,” kata nenek yang berusia sekitar tujuh puluhan tahun ketika dia turun
dari puncak itu. Kabut di puncak sangat tidak bisa diprediksi. Tiba-tiba
menghilang, tiba-tiba menutupi jarak pandang. Kami memilih terus berjalan
menembus kabut yang disertai angin dengan jarak pandang sekitar lima meter.
Mendekati puncak Bendera, kabut perlahan menghilang dan birunya langit kembali
memesona.
Beristirahat sebelum ke Puncak Bendera |
Kabut
menghilang hanya beberapa detik saat kami sampai di puncak Bendera,
menyingkapkan pemandangan yang indah di bawahnya: kebun dan perkampungan serta
hamparan biru lautan. Setelah mengambil beberapa foto lalu saya memimpin
rombongan kecil yang berjumlah lima orang untuk turun ke Pos 5. “Jaga jarak.
Jangan sampai ada yang terpisah” saya tekankan kepada setiap anggota. Kabut
tebal mengiringi sepanjang perjalanan turun. Setiap anggota tidak lagi memiliki
persediaan air maupun logistik. Menuju Pos 5 kami hanya mengandalkan jejak kaki
yang masih tampak jelas di hamparan permukaan puncak Kaldera, serta ingatan
tentang jalan yang dilalui sebelumnya. Satu rombongan yang turun bersamaan dari
puncak Bendera sudah tidak kelihatan karena mengambil jalan di sisi kaldera.
Otomatis hanya kami berlima yang berjalan bersama. Adakalanya jejak para
pendaki hilang pada jalan yang berbatu. Pikiran-pikiran akan keadaan yang baik
dipelihara dan disampaikan kepada anggota rombongan selama perjalanan.
Bersambung...
Kamis, 16 April 2015. Bima
0 comments:
Posting Komentar