Bagian kedua
Salah satu puncak di Tambora sebelum tertutup kabut |
Sekitar
setengah jam melewati hamparan puncak Kaldera yang tertutup kabut tebal, kami
sampai di tempat plang Puncak Kaldera. Ketegangan menguap dari wajah
masing-masing. Dari sini jalan menuju Pos 5 terlihat lebih jelas. Saya
mengijinkan anggota rombongan yang ingin duluan berjalan karena lutut mulai
terasa bermasalah. Pada separoh perjalanan menuju Pos 5, suatu sentakan terasa
pada bagian lutut kaki kanan. Rasa sakitnya membuat saya harus berhenti
melangkah. Saya mempersilahkan rombongan untuk meneruskan perjalanan dan
meninggalkan saya di belakang. Perlahan dengan cara mengurangi tekanan pada bagian
lutut yang sakit saya melanjutkan perjalanan. Akhirnya saya sampai di Pos 5
beriringan dengan rombongan terakhir yang bergerak turun sekitar satu jam
setelah kami.
Sarapan
dan makan siang dijamak pada jam sebelas siang menjelang perjalanan turun. Di
perjalanan saya kembali berada paling belakang dengan bang Herman. Berjalan
agak perlahan mengingat kondisi lutut saya dan kaki bang Herman yang dulunya pernah
patah. Obat gosok yang dioleskan sebelumnya mampu meringankan rasa sakit di
lutut. Selain itu tongkat kayu juga mampu mengurangi tekanan pada kaki saat
turun. Pos 4, lalu Pos 3 kami lalui hanya dengan berhenti untuk minum, memungut
sampah, dan bertegur sapa dengan pendaki yang berpapasan.
Hari
mulai gelap, perjalanan dari Pos 3 menuju Pos 2 masih tinggal separoh. Rasa
lapar kali ini lebih hebat terasa di lambung, maklum terakhir diisi pada jam
sebelas siang. Buah berry hutan dengan rasa kecut manis kembali jadi sasaran.
Namun itu belum mampu meredakan lapar yang kian gahar. Kami berharap rombongan
yang berjalan di depan berhenti di Pos 2 untuk makan malam, seperti yang
direncanakan sebelumnya. Sesampainya di Pos 2, kami hanya menemukan jejak
mereka. Menurut pendaki yang ada di sana, mereka telah jalan sekitar sepuluh
menit sebelum kami sampai. Hufftt...
Di
Pos 2 kami bertemu dengan Alin dari Lombok dan dua orang temannya yang
sebelumnya mampir di tenda kami di Pos 5. Mendengar keadaan kami mereka memberi
tiga potong Fitbar dan sebutir telur rebus. Bantuan yang sangat berharga dan
menambah tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Setelah membantu menghidupkan api
unggun buat mereka, kami melanjutkan perjalanan ke Pos 1. Perjalanan yang tidak
begitu jauh, namun sangat mendebarkan.
Menurut
perkiraan dari Pos 2 menuju Pos 1 hanya membutuhkan waktu satu jam perjalanan
turun. Namun setelah berjalan sekitar satu jam, kami masih belum sampai.
Padahal sekitar setengah jam sebelumnya saat berpapasan dengan pendaki yang
naik, mereka mengatakan Pos 1 sudah tidak jauh lagi. Saya yang berjalan di
depan mulai merasa was-was. Ayat Kursi dan beberapa surat pendek, serta Al
Fatihah saya baca berulang-ulang kali. Saya mulai menghitung waktu tempuh
perjalanan dengan melihat jam di hape. Pohon-pohon besar yang ditutupi tumbuhan
menjalar masih terlihat di kiri-kanan jalan, kadang terasa sama satu dan
lainnya. Permintaan bang Herman untuk merapatkan jarak membuat saya semakin
khawatir. Saya lihat jam di hape, sepuluh menit berlalu. Pos 1 masih belum ada
tanda-tandanya. Dua puluh menit pun terlewati. Vegetasi hutan masih sama.
Pohon-pohon besar seperti mengikuti langkah kami.
Tujuh
menit selanjutnya kami sampai di jalan yang penuh belukar bekas dipotong.
Belukar ini merupakan penanda kalau Pos 1 tinggal beberapa puluh meter lagi di
depan. Kami sampai setelah semua rombongan selesai makan malam. Saya dan bang
Herman makan malam dengan sepiring kecil mie rebus dan seperempat potong telur
rebus. Malam malam yang cukup menenangkan perut sebelum jatuh ke dalam tidur
yang nyenyak dalam pelukan Baymax.
Cahaya
matahari menyelinap dari sela-sela dedaunan hingga menciptakan ratusan ray of light yang menyentuh lantai bumi di Pos 1. Menjadi
makin indah ketika ditimpali asap yang mengepul dari tungku-tungku yang
dipenuhi reranting mati. Musik reggae dari band Indonesia mengalun lembut dari tenda
pendaki asal Malaysia. Pagi itu saya
memutuskan untuk mandi separoh badan, dari dada sampai ujung kepala, serta
menggosok gigi untuk pertama kalinya selama pendakian. Kegiatan yang
menghasilkan kesegaran dan ketenangan pada badan yang telah dipaksa begerak
lebih dari biasanya selama dua hari terakhir.
Setelah
membantu memasak, saya bercerita dengan beberapa orang pendaki yang ada di Pos
1, termasuk dengan seorang pendaki asal Malaysia. Beliau memuji keindahan
gunung-gunung di Indonesia. Rinjani dan Sumeru menjadi gunung yang paling
berkesan menurutnya, karena di kedua gunung itu terdapat danau kecil, dan kolam
air panas di Rinjani merupakan suatu keunikan yang paling menarik. Pagi itu
kami sarapan berkecukupan gizi. Nasi, teri dan cumi goreng, telur dadar, dan
tentu saja mie rebus. Makan terakhir sekaligus menjadi yang paling nikmat
selama pendakian di Tambora.
Jam
sebelas semua rombongan mulai bergerak turun menuju lapangan Pancasila. Saya
dan bang Herman tidak mampu mengiringi kecepatan berjalannya rombongan yang
pada umumnya adalah anak kelas satu SMA. Beberapa kali kami juga berhenti untuk
ngobrol sejenak dengan pendaki yang naik. Salah satunya dengan Annisa, pendaki
perempuan asal Perancis yang mendaki sendirian. Annisa adalah pendaki asal luar
negeri kedua yang saya temui selama di Tambora. Konon kabarnya pada tanggal 16
April 2015 pendakian massal untuk pendaki mancanegara akan diselenggarakan.
Hujan mulai turun setelah kami berpisah dengan Annisa. Makin lama makin terasa
lebih deras.
Kami
terus berjalan di tengah guyuran hujan sampai akhirnya bertemu tiga orang bocah
yang menawari ojek sebelum Pos Portal. Kami melewatkan tawaran mereka dan
meneruskan perjalanan melewati jalanan yang semakin becek akibat dilewati
sepeda motor. Sekitar lima ratus meter sebelum lapangan, kami beristirahat
sejenak. Saya perhatikan lutut kiri membengkak dan rasa sakit menjalar saat
dipegang. Saya melanjutkan perjalanan dengan sedikit terpincang-pincang, sambil
bersyukur dapat sampai dengan selamat di lapangan Pancasila sebagai titik terakhir
pendakian
Semua
rasa sakit dan rasa capek yang terjadi selama dan setelah pendakian adalah
konsekuensi atas pilihan yang telah diambil. Semua itu harus dinikmati seperti
menikmati rasa puas atas keberhasilan sampai di puncak dan kembali dengan
selamat. Rasa puas inilah yang menjadi obat atas capek dan sakit akibat
perjalanan. “Kalau nggak mau capek, jalan-jalannya ke mall aja” begitulah
ledekan seorang teman ketika menyemangati teman lainnya dalam pendakian. Ya,
begitulah pilihan.
Tambora Untuk Semua
Pengalaman
mendaki Gunung Tambora ini begitu berkesan buat saya, tidak hanya dari
pengalaman dari kejadian-kejadian yang dialami, tapi juga dari orang-orang yang
ditemui selama pejalanan. Saya menemui pendaki mulai dari sepasang kakek-nenek
berusia sekitar enam puluh atau tujuh puluhan tahun yang berasal dari Sumbawa
sampai bocah usia empat tahun yang diajak ikut oleh orang tuanya. Bermacam
latar belakang profesi seperti dokter, desainer grafis, presenter TV, seniman,
mahasiswa, pegawai swasta maupun negeri yang harus mengambil cuti, serta ibu
rumah tangga ikut melakukan pendakian dalam memeriahkan acara Tambora Menyapa
Dunia.
Saya
menghitung ada sekitar lima belas orang anak-anak dengan usia di bawah sepuluh
tahun dan puluhan orang perempuan yang berusia di atas empat puluh tahun ikut
dalam pendakian. Begitupun daerah asal mereka tersebar dari Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Bali dan sampai kota-kota besar di pulau Jawa. Semua
larut dalam satu kegiatan di alam bebas. Tidak ada celah untuk
pengkotak-kotakan manusia dalam alam ini. Tegur sapa terjadi secara alamiah. Semua
menyatu dan berbaur dalam satu tujuan mencapai puncak. Tambora Menyapa Dunia
adalah Tambora untuk semua.
Kamis,
16 April 2015. Bima
Mantap sekali cerita perjalanan ini, saya ikut merasakan dengan hanya membacanya, semoga uda didapatkan apa yang ditemukan dan diberi keselamatan hingga selesai melakukan perjalanan lahir batin ini, semangat terus, saya yakin banyak sekali yang terinspirasi dari cerita "Kang Guri" - hehe maap orang Bandung soalnya, semangaaaattt...!!!!!
BalasHapusTerima kasih kang Reza. Senang sekali kamu mampir ke sini dan meninggalkan komentarnya. Sudah jalan-jalan hari ini?
BalasHapusSayang.....saya tertinggal di Tambora Uda Guri Ridola....tidak bisa foto bareng di puncak....kita punya foto bareng hanya di pos 1....di pos 5 ngga sempat kita foto bareng
BalasHapusDapet mampir ke Maluk Sumbawa Barat kah Uda saat pertama berkunjung ke Pulau Madu Sumbawa atau langsung ke Bima ?????
Iya om Martono, tapi cukuplah karena pertemuan lebih berharga dengan percakapan demi percakapan. Belum sempat, kalau jadi, rencananya minggu lusa saya ke Satonda. Ada rencana ke sana om?
Hapus