Jelajah Bima bagian keempat
Bayangan
apa yang muncul dalam pikiranmu ketika mendengar Pulau Ular? Ya, benar. Pulau
yang penuh berisi ular. Begitupun yang ada dalam pikiran saya sebelumnya. Saya
sengaja tidak mencari tahu sebelumnya di internet seperti apa Pulau Ular itu
dan ular apa saja yang menghuninya. Imajinasi saya biarkan berkelana dengan
mendengar cerita lisan dari penduduk.
Perjalanan
benar-benar penuh kejutan (dapat kalian temukan di paragraf-paragraf
berikutnya). Tiba-tiba siang itu, selepas dari MIS Darul Ulum, pak Muchtar
membawa kami berempat ke sana. Di awal perjalanan Devanosa menuntaskan niatnya untuk duduk di
atas atap mobil menikmati udara sejuk dan jalanan berliku di sepanjang pantai
dari Tololai sampai Wera. Benar-benar nikmat dan memanjakan mata. Setelah
menemaninya sejenak saya pindah ke dalam mobil untuk mengecas hape, karena ini
adalah salah satu bagian penting dari perjalanan.
Kerbau-kerbau
berendam dalam lumpur di pinggir pantai, sedikit bagian punggung dan kepala
yang muncul di permukaan menciptakan pemandangan yang unik. Kapal Pinisi
dengan dua tiang layar tinggi berdiri megah dekat kaki gunung Sangeang Api.
Bukit-bukit hijau seperti berkejaran mendampingi perjalanan dari sisi kanan.
Tapi sayang, jembatan ambrol di tengah perjalanan akibat dilintasi truk yang
begitu berat. Mobil yang kami tumpangi berjalan memutar ke sisi jembatan,
melewati peminta sumbangan yang bergeming setelah melihat bang Alan di bangku
kemudi.
Perjalanan
sekitar tiga jam ini melintasi jam makan siang. Pisang rebus menjadi
pelampiasan dari jeritan lambung. Mendekati Pulau Ular jalanan bagai permukaan
wajah dengan jerawat batu tahunan. Hancur. Mobil Kijang tanpa powersteering benar-benar menguras tenaga pengendaranya. Kuah
gado-gado yang dibeli untuk makan siang telah merembes di bungkusnya.
Perjalanan masih sekitar satu jam lagi. Melewati hamparan sabana yang dulunya
menjadi tempat bermain kuda-kuda asli Wera yang terkenal pandai menari.
Jam
tiga tepat kami sampai di gerbang objek wisata Pulau Ular, di suatu
perkampungan nelayan dengan belasan perahu warna-warni berayun-ayun di tengah
ombak. Pak Muchtar mendapatkan perahu untuk membawa kami ke Pulau Ular.
Perjalanan sekitar sepuluh menit itu sangat mengasikkan di tengah gelombang
pasang yang menghempaskan perahu. Apalagi saya dan Devanosa memilih duduk di
ujung perahu yang paling merasakan terhempas naik turun oleh gelombang.
Menurut
cerita dari orang-orang yang saya temui, konon sebelum sampai di pulaunyapun
kita sudah bisa melihat ular-ular itu berenang di sekitar pulau. Saya mengingat
ceritanya sambil menajamkan pandangan ke sekitaran perahu. Beberapa gundukan
timbul tenggelam tampak di kejauhan. Semakin dekat gundukan itu semakin jelas.
Ternyata itu hanyalah potongan ranting kayu yang mengapung di sekitar pulau.
Lalu mesin perahu yang kami tumpangi dimatikan. Pengemudinya melempar sauh,
lalu melompat ke depan dan mengikat tali kapal ke batu karang. Kami mulai
menjejakkan kaki di Pulau Ular.
Waspada.
Begitulah kesan pertama saya setelah menjejakkan kaki di pulau ini. Saya
berjaga-jaga melihat sekitar, jika saja
ular-ular jenis ular laut dengan warna hitam dan putih itu bermunculan. Pemandu
kami mulai melongokkan kepalanya ke lobang-lobang di batu karang. Berpindah
dari satu lobang ke lobang lainnya, dari satu sisi ke sisi lainnya pulau itu.
Kami mengikuti dari belakang, melangkah di atas batu karang yang tajam. Separoh
bagian dari pulau seluas lapangan basket itu telah kami telusuri. Belum ada
ular yang kami temukan di Pulau Ular ini.
Satu-satunya ular yang kami temukan di Pulau Ular |
Setelah
selesai mengelilingi Pulau Ular, keinginan yang muncul berikutnya adalah
mendaki lebih tepatnya memanjat ke bagian atasnya. Konon, ceritanya pulau ini
adalah kapal yang terdampar, dan ular-ular di sini adalah jelmaan dari
penumpang yang terperangkap di dalamnya. Begitulah salah satu versi cerita dari
seorang penduduk. Di atas tebing curam setinggi lima meter itu tumbuh dua batang
pohon kamboja yang eksotis dengan tumbuhan di sekitarnya.
Menikmati
hamparan perbukitan hijau, perkampungan dengan kepulan asap dari rumah-rumah
penduduk, cahaya matahari yang timbul tenggelam di balik awan, serta ketenangan
Sangeang Api dengan kabut tebal di puncaknya. Mengambil foto adalah kegiatan
tak terhindarkan di sini, karena misi mencari ular sudah selesai. Dari atas
sini saya melihat perahu yang kami tumpangi tadi mengapung di tengah jernihnya
air, dan warna hijau terumbu karang di bawahnya. Tidak ada ular pun tak
masalah, saya akan menikmati Pulau Ular ini dengan cara lain.
Setelah
bertanya kepada pemandu tentang keadaan sekitar, saya langsung terjun ke dalam
air jernih yang rasanya tidak begitu asin. Terumbu karang warna warni dengan
tekstur lembut menyambut, tapi sayang tidak ada masker untuk melihat lebih
jelas dari dekat. Sialnya di perahu
pun tidak ada. Cukuplah hanya menikmati kesegaran dari berenang setelah
menempuh perjalanan yang cukup panjang. Kalau ke sini, bagusnya membawa perlengkapan
snorkeling dan air minum yang cukup,
selain itu datanglah saat air surut agar dapat bertemu dengan banyak ular.
Anggaplah ini sebagai saran dari kami yang datang tidak pada waktu yang tepat,
juga tanpa membawa perlengkapan snorkeling.
Di
perjalanan meninggalkan Pulau Ular, saya meminta untuk mengemudikan sendiri
perahu kepada pemandu. Melakukan hal-hal baru adalah kegiatan favorit selama
perjalanan. Mengemudikan perahu lebih membutuhkan intuisi dan perasaan, karena
tidak ada patokan khusus dan arah gelombang yang tidak menentu. Setelah membeli
ikan, kami meninggalkan perkampungan nelayan di dekat Pulau Ular itu menjelang
magrib.
Sekitar
satu jam perjalanan, tiba-tiba mobil oleng dan bergetar lebih kuat. Ban
belakang mobil pecah dalam kegelapan malam, di tengah kebun penduduk. Tidak ada
ban serap di mobil, kami terpaksa menunggu datangnya pinjaman ban dari relasi
pak Muchtar. Rasa lapar dan haus lebih mencekam daripada kegelapan. Beruntung
sopir truk yang berhenti di dekat kami memberi beberapa gelas air kemasan.
Setelah itu, keceriaan hanya perlu diciptakan dalam suasana apapun. Begitupun
dalam satu jam perjalanan berikutnya ketika mobil yang kami tumpangi kehabisan
bensin di tikungan di ujung pemakaman umum desa Nipah.
Perjalanan
yang tidak terduga seringkali menghadirkan kejutan-kejutan. Kamu bisa saja
mengaharapkan yang indah, tapi harus tetap siap untuk kejutan lainnya. Perihal cara menikmatinya, itu pilihanmu.
Sabtu,
9 Mei 2015. Bima
Bang Alan yang rela nyetir mobil tanpa powersteering lebih dari lima jam |
0 comments:
Posting Komentar