Puncak
adalah pencapaian tertinggi dari suatu pendakian. Dari sini pandangan lepas ke
sekeliling, laut dengan pulau-pulaunya, perkampungan dengan rumah-rumah
penduduknya, kaki gunung dengan kebun-kebunnya dapat dinikmati dari sini.
Puncak adalah titik akhir dari jalan menanjak selama pendakian, dari sini kamu
dapat melihat mereka yang masih bergerak pelan menuju ke arahmu, mungkin saja
ini dapat melahirkan kesombongan dari dalam diri. Puncak hanya menyediakan
jalan untuk turun, dan harus ditempuh setelah puas menikmati segala yang
disuguhkannya. Puncak Rinjani memang begitu indah, tapi tidak bisa dinikmati
selamanya, kecuali dalam kenangan.
Jam
setengah delapan kami mulai bergerak turun. Setengah berlari dan di beberapa
bagian saya dan Lisa benar-benar berlari menuruni jalan berpasir. Tapi
pemandangan yang indah di kiri-kanan memaksa kami untuk berhenti dan mengambil
foto. Di sisi kanan terlihat savana hijau terhampar dengan beberapa garis
melengkung di dalamnya, bagunan Pos 3 ekstra pun tampak terselip di antara
indahnya savana. Di sisi kiri, Segara Anak hadir dalam berbagai sudut pandang
dan objek di sekitarnya, seperti gunung api kecil yang selalu mengeluarkan asap
dan tebing-tebing pasir berbagai bentuk. Satu tempat yang begitu menarik adalah
melewati jalan dengan tebing pasir setinggi pinggang di kiri-kanannya, seakan
berjalan dalam miniatur sungai.
Jalan unik bagai miniatur sungai |
Kami
sampai di Pelawangan dua jam berikutnya. Sebelum ke tenda menyempatkan diri
dulu mengisi persediaan air bersih sebagai bekal perjalanan turun ke Segara
Anak. Di tenda saya beristirahat sejenak sambil menikmati cemilan kue kering,
sementara Lisa masih mengobrol dengan beberapa pendaki yang kami temui saat
naik sehari sebelumnya. Selesai berkemas kami segera turun ke Segara Anak.
Jam sebelas tepat perjalanan dimulai dengan target makan siang di pinggir
danau.
Perjalanan
menurun disambut oleh tebing curam dan batu-batu besar. Kehati-hatian
ditingkatkan agar tetap selamat. Karena akan sangat berbahaya jika terjatuh
dari tebing penuh batu ini. Cuaca begitu terik siang itu, baju basah oleh
keringat, satu botol air 1,5 liter habis selama perjalanan. Kami beristirahat
di bawah rindangnya pohon cemara di ujung perjalanan turun yang curam. Di bawah
jembatan sebelum cemara ini terdapat mata air yang kembali memenuhi botol minum yang telah kosong. Perjalanan ke pinggir danau memasuki jalan yang relatif datar dan
membutuhkan waktu sekitar satu jam lagi. Kabut tipis dan suara ayam hutan
mengiringi perjalanan dengan ekspektasi keindahan pinggir danau dan kenikmatan
mandi di air panas. “Both” begitulah jawaban Lisa ketika saya tanyakan dia akan
mandi di danau atau di air panas sesampainya nanti.
Kami
sampai di pinggir danau jam dua siang, lalu bergegas mendirikan tenda. Tenda
kami menyelip di antara tenda rombongan yang ditemui saat di kantor TNGR.
Pilihan tempat ini bertujuan untuk keamanan barang-barang saat ditinggalkan,
karena semua anggota rombongan ini sudah kami kenal selama perjalanan menuju
Pelawangan Sembalun. Rencana makan siang di pinggir danau hanya tinggal
rencana. Bayangan kenikmatan berendam di air panas sudah tak tertahankan. Hanya
sepotong roti coklat yang menjadi makan siang. Setelah itu kami bergegas ke
kolam air panas bersama Riges dan Cleryn pendaki asal Jakarta yang ditemui
di pinggir danau.
“Oh...my
gosh. Oh...my gosh... Oh my gosh...” teriak Lisa histeris sesaat setelah
nyemplung ke air panas berwarna kehijauan itu. Lisa langsung menjadi pusat
perhatian dari orang-orang yang sedang berendam di kolam yang dihiasi air terjun
setinggi tujuh meter ini. Setelah berendam sebentar, saya lalu berenang
melayang di permukaan air panas. Rasanya...beuh.
Dasar kolam cukup dalam dan aman jika kamu ingin melompat atau bersalto ria
dari batu di pinggir kolam. Kami bergantian melompat dari batu di sisi kiri
kolam. Ternyata mandi di kolam air panas Rinjani benar-benar nikmat. Tidak
terasa satu jam lebih kami berendam, sampai kolam itu serasa menjadi milik kami
berempat karena tidak ada lagi orang lain di sini.
Jam
lima sore kami baru kembali ke tenda, setelah sebelumnya mengambil air bersih
yang berada tidak jauh dari kolam air panas. Setengah jam berikutnya saya
menikmati nasi untuk pertama kalinya hari itu. Setelah makan, Lisa meminta
untuk turun besok paginya, lebih cepat sehari dari rencana sebelumnya, dengan
pertimbangan kami telah menikmati semua yang disuguhkan oleh Rinjani. Sebelum
magrib kami membagi logistik ke dalam dua kantong. Kantong yang besar kami bawa
saat menemui rombongan pemancing yang ditemui sebelumnya di jembatan menjelang Pos 1.
Rombongan
pemancing dari Lombok Timur ini telah mengundang kami untuk menikmati ikan hasil
tangkapan mereka sejak tadi siang. Mereka langsung menggoreng beberapa ekor
ikan saat kami sampai di tendanya. Lisa terlihat begitu menikmati ikan segar
yang baru keluar dari penggorengan. Setelah puas bercerita dengan mereka dan menyerahkan
logistik yang dibawa, kami kembali ke tenda dan beristirahat menyiapkan tenaga
untuk perjalanan pulang paginya.
Jam
lima pagi kabut tipis menyelimuti permukaan danau saat saya bangun untuk sholat
subuh. Samar-samar terlihat dua orang pemancing duduk sabar sambil merokok di
tepi danau. Suhu di pinggir danau terasa lebih dingin daripada di Pelawangan. Kaki saya gemetaran menunggu
imam selesai membaca Al Fatihah. Serta asap tipis keluar dari mulut saat
mengucapkan “Amiiin”. Permukaan danau tampak tenang, kabut tipis mulai
mengambang. Saya masuk ke dalam tenda dan mulai merebus air untuk minuman
hangat penyambut pagi.
Lisa
bangun lalu mengambil alih kompor untuk memasak sarapan ala dia. Sarapan
spesial yang akan saya ceritakan di bawah nantinya. Selesai sarapan kami
menyempatkan diri sejenak berendam di air panas sebagai mandi pagi sebelum
pulang. Empat botol ukuran 1,5 liter terisi penuh, mengingat di
jalur pulang lewat Senaru cukup sulit menemukan air bersih. Jam delapan lewat
lima belas menit kami mulai berjalan setelah berpamitan dengan beberapa teman
di pinggir danau.
Menyusuri
pinggir danau lalu masuk ke hutan cemara dengan tumbuhan ilalang di pangkalnya
adalah jalur awal perjalanan pulang. Suara burung makin mempernikmat suasana
perjalanan selama dalam hutan cemara. Jalan mulai menanjak di ujung hutan
cemara. Lalu disambut oleh tebing-tebing curam berbatu. Di beberapa bagian kami
memanjat tebing-tebing batu itu dengan adrenaline yang terpacu. Saya sangat
menikmati jalur perjalanan pulang ini, begitupun dengan Lisa. “I love this
track” sahutnya setelah memanjat tebing batu dengan gesit. Di belakang, Segara
Anak dan puncak Rinjani tampak memesona, dibingkai oleh ranting-ranting kayu.
Kami
sampai di Pelawangan Senaru setelah tiga jam perjalanan. Beristirahat sejenak,
lalu melanjutkan perjalanan menembus savana. Jam satu siang kami sampai di Pos
3 dan makan siang. Perjalanan selanjutnya menembus hutan hujan yang lebat.
Kabut tebal mengiringi perjalanan. Akar-akar pohon menyerupai ular
bergelimpangan di jalan. Beberapa scene
film misteri melintas dalam pikiran saya, bercampur dengan cerita mistis
tentang hutan ini. Saya melafalkan beberapa ayat dalam hati dan mengalihkan
pikiran ke hal-hal yang lebih baik.
Perjalanan
turun terasa lebih ringan setelah makan. Kami hanya berhenti untuk mengambil
foto beberapa objek yang terlihat menarik. Lisa begitu suka mengambil foto
akar-akar dan pohon-pohon besar. Tidak terasa kami telah berjalan selama
delapan jam. Di ujung jalan tampak gerbang pintu jalur pendakian Senaru. Kami
telah menyelesaikan pendakian gunung Rinjani, dan merayakan keberhasilan
pendakian ini dengan sebatang rokok menthol yang Lisa bawa dari Kenya.
Bidadari di Rinjani
Mungkin
saat membaca tulisan sebelumnya kamu mencari-cari tahu siapa bidadari yang
mendaki Rinjani bersama saya. Bidadari itu bernama Lisa Gerhold, gadis pirang
dua puluh satu tahun asal Jerman. Kami bertemu awalnya di pantai Senggigi lalu
membuat janji untuk mendaki Rinjani bersama. Saya sangat bersyukur melakukan pendakian
ini walau hanya berdua dengan Lisa. Selama pendakian dia tahu apa yang
seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Hasil dari pengalamannya
mendaki gunung-gunung di negaranya dan di Kenya.
Pendakian
dengan Lisa mengubah kebiasaan makan saya selama di gunung. Selama empat hari
tiga malam pendakian kami hanya tiga kali makan mie instant, karena itu stok mie
masih banyak tersisa. Pagi terakhir Lisa bereksperimen memasak sarapan spesial,
yaitu bubur dari nasi setengah beras yang dicampur dengan Energen, susu putih,
dan coklat batangan. Saya menikmati sarapan yang antah barantah ini dengan bergantian
menyendoknya dari mangkok. Lisa juga yang mengajak saya ngemil nasi putih
dingin dengan susu coklat, dengan mengatakan di belahan bumi lain banyak orang
kelaparan dan membutuhkan makan, sedangkan kita di sini membuang makanan begitu
saja.
Lisa
sedang menjalani tahun kedua masa break
up sebelum memulai kuliah pada bulan
Juli nantinya. Setelah setahun pertama dia habiskan di Kenya sebagai volunteer.
Pengalaman tinggal di ruangan 3x3 meter yang sekaligus menjadi kamar, dapur,
dan meja makan untuk dua orang membuat ia sangat rapi dan teliti dalam
menyimpan barang-barang. Kebiasaannya inilah yang membuat tenda kami selalu
rapi dan teratur. Satu hal yang paling unik dari Lisa adalah saat dia
menyiapkan tempat tidur dalam tenda, bagaikan seorang yang akan tidur di
ranjang. Matras, selimut, mini sleeping
bag, sleeping bag, selimut
kedua, tersusun rapi sebelum tidur. Setelah menyelesaikan catatan harian pada
buku kecilnya, ia akan menarik selimut kedua bagai seseorang yang sedang tidur
di hotel.
Selama
di gunung Lisa bagai menjadi seorang idola. Gadis cantik ini tidak pernah
berhenti berbincang-bincang dengan setiap orang yang ditemuinya. Dengan sesama
turis, guide, pendaki lokal, dan porter ia tampak akrab. Di perjalanan turun ia
bahkan mengajak porter adu cepat berlari dengan beban masing-masing. Selama
pendakian Lisa selalu melayani setiap orang yang meminta berfoto dengannya.
Sampai ia mengatakan “I think everybody in the mountain have taken picture with me.”
Saat
kami sampai di Senaru pun masih banyak pendaki lokal yang meminta berfoto
dengannya. Lisa bagai seorang bidadari yang diinginkan oleh banyak orang, ramah
dan hangat kepada semua orang, idealnya sebagai seorang solo traveller. Walaupun
Lisa begitu tangguh saat mendaki, ramah terhadap semua orang, gila dalam
beberapa hal, tetaplah ia seorang perempuan biasa. Perempuan yang membutuhkan
bahu seorang lelaki untuk bersandar saat ia lelah, bahu yang akan memberikan
kenyamanan saat dibutuhkan. Saya mengetahui hal ini selama perjalanan pulang
Senaru-Mataram di atas mobil pikap hasil hitchhiking
di pos terakhir.
Saya
sangat bersyukur mendapat kesempatan mendaki Rinjani. Gunung terindah yang
pernah saya daki dan teman pendakian yang seru. Namun ada satu hal yang
mengusik semua keindahan ini, yaitu perihal hubungan saya dengan Lisa selama
pendakian. Saya selalu dikira porter. Hufftt....
Kamis,
11 Juni 2015. Bima
Baca juga postingan tentang jalan-jalan di Lombok lainnya:
1. Jelajah Lombok: Jangan dulu ke Gili Trawangan
2. Surga bawah laut Lombok ada di sini
3. Kalau di sini dapat melihat kerajaan ikan
4. Tips jalan-jalan hemat dan bahagia di Lombok
1. Jelajah Lombok: Jangan dulu ke Gili Trawangan
2. Surga bawah laut Lombok ada di sini
3. Kalau di sini dapat melihat kerajaan ikan
4. Tips jalan-jalan hemat dan bahagia di Lombok
Jangan salah Uda
BalasHapusporter Rinjani adalah sesungguhnya Sang Pendaki Sejati
Kenapa gitu om?
Hapus