Karena Labuan Bajo tidak hanya tentang diving, snorkeling dan LOB saja.
Puluhan
kapal kayu berbagai ukuran terapung tenang di sekitar pelabuhan Labuan Bajo.
Mereka bagai menyambut kedatangan kapal Ferry yang membawa saya dari Sape,
Bima. Sore itu pukul setengah lima. Matahari telah condong ke Barat. Kedatangan
kapal membuat riuh suasana pelabuhan. Tukang ojek, sopir angkot, travel dan
kuli angkut mengerubungi kapal untuk menawarkan jasa mereka. Saya berjalan kaki
keluar area pelabuhan bersama Lawrence, solo
traveller asal Jakarta. Kami bertemu
di kapal dan memutuskan untuk jalan bareng selama di Labuan Bajo.
Tujuan
kami sore itu adalah rumah bapak Haji Radi di kampung Air Kemiri. Alamat beliau
saya dapatkan dari bang Jasmin pada hari terakhir di Sape. Sebelum sampai di
rumahnya, tepatnya di Kampung Tengah, kami menikmati keindahan sunset dengan
suasana dermaga. Susunan kayu dermaga yang saling silang dan tiang-tiang kapal
kayu yang menjulang menciptakan keindahan di tengah permukaan laut yang
dirambati cahaya keemasan. Sepotong senja yang indah pada hari pertama di
Labuan Bajo.
Pagi
pertama di Labuan Bajo menyambut kami dengan hangat. Pantai Pede adalah tujuan
pertama. Tidak sampai lima menit kami sudah sampai di pantai landai dengan
pasir putih dan airnya yang jernih. “Kalau hari Minggu biasanya ramai di sana”
kata pak Haji Radi pada malam sebelumnya. Benar saja, saat kami datang beberapa
mobil dan puluhan motor sudah terparkir di bawah pohon pelindung yang banyak
tumbuh di sana. Anak-anak kecil berenang gembira dan berlompatan dari atas
perahu. Beberapa orang tua mengajari anak-anak mereka berenang dengan
menggunakan pelampung. Saya dan Lawrence bergantian berenang untuk menjaga
keamanan barang-barang.
Menjelang
siang air laut makin tinggi, tampak mengkilat disapu cahaya matahari.
Pengunjung yang datang semakin ramai. Pedagang bakso, gorengan, mie ayam, balon
gas, dan aksesoris ikut meramaikan suasana pantai. Pantai ini menjadi pilihan
utama rekreasi keluarga bagi masyarakat Labuan Bajo dan sekitarnya. Tidak ada
pungutan biaya sama sekali di pantai sepanjang lima ratus meter ini.
Sebelum
pulang, saya tertarik menyaksikan orasi dari sekelompok masyarakat di sana.
Mereka yang terdiri dari tokoh agama, HPI, tokoh masyakarat, dan beberapa
anggota DPRD menolak keputusan Gubernur NTT yang menyerahkan penguasaan daerah
Pantai Pede kepada salah satu perusahaan perhotelan. Menurut mereka Pantai Pede
jadi satu-satunya pantai di Labuan Bajo yang masih dapat dinikmati secara bebas
oleh semua masyarakat. Jika sudah dibangun hotel, kekhawatiran masyakarat akan
kesulitan menikmati pantai yang indah ini.
Goa
Batu Cermin menjadi tujuan berikutnya. Tapi sebelumnya kami memenuhi undangan
makan siang dari seorang teman dari teman waktu di Bima. Bang Oyang telah
menunggu di pinggir jalan di desa Nggorang tempat beliau tinggal. Suguhan kopi
Flores menyambut kami. Setelah dicicipi saya langsung suka dengan rasanya.
Nikmat. Wangi. Memiliki rasa khas yang lebih smooth dibandingkan kopi Tambora, Lombok dan Bali yang pernah saya
nikmati sebelumnya.
Jam
dua siang kami ditemani bang Oyang sampai di Goa Batu Cermin.Cuma butuh sepuluh
menit dari pelabuhan Labuan bajo untuk sampai di sini dengan sepeda motor. Tiket masuk ke dalam goa sepuluh
ribu per orang. Jika menggunakan guide tiap
orangnya menambah sepuluh ribu lagi. Menjelang sampai mulut goa kami melewati
jalan beton menembus hutan bambu yang cantik. Suasana rindang dan bunyi daun
bambu yang ditiup angin menemani jalan kaki selama sepuluh menit itu.
Tangga
beton mengantarkan kami dari mulut goa sampai ke bagian dalam. Di ujung tangga
akar pohon beringin memagari pintu tapi masih menyisakan jalan untuk
pengunjung. Kami disambut oleh tebing batu yang menjulang tinggi di dua sisi.
Di satu sisi pohon beringin berdiri kokoh dengan akarnya mencengkram tebing
batu. “Batu cermin itu masih ke bawa sana, mas” kata seorang guide kepada kami.
Di
bibir goa yang ditunjukkan guide tadi
teronggok belasan helm berwarna terang. “Pakai helm sebelum masuk, mas. Ini
senter juga boleh dipakai?” kata seorang
guide yang baru keluar dari dalam
goa. Kami masuk ke dalam goa dengan menunduk. Stalaktit menghiasi bagian atas
goa. Di sinilah pentingnya menggunakan helm untuk melindungi kepala berbenturan
dengan stalaktit. Ketika diterangi dengan senter, stalaktit akan berkilauan
akibat kandungan garamnya. Ruang di dalam gua lebih lapang. Kami lebih leluasa
melihat stalaktit berbagai bentuk, fosil dari kura-kura dan terumbu karang,
serta batu yang mirip patung Bunda Maria.
Kami
terus menelusuri goa sampai ke bagian yang disebut batu cermin, karena
memantulkan cahaya matahari bagaikan cermin. Sayang sekali kami sampai pada
waktu yang tidak tepat, yaitu jam dua siang. Waktu terbaik untuk mengunjungi
Goa Batu Cermin adalah jam sebelas sampai dua belas siang. Harapan kami tidak
sepenuhnya terwujud. Tapi masih ada satu lagi harapan terhadap keindahan Goa
Batu Cermin, yaitu menikmati keindahan di sekeliling dari puncaknya.
Keluar
dari mulut goa kami berjalan ke arah kiri untuk memanjat ke puncak goa.
Tebing-tebing batu yang cukup curam menyambut. Tangga kayu yang ada di sana
sangat membantu. Setelah memanjat sekitar sepuluh menit kami disambut oleh
pemandangan hijaunya hutan bambu, landasan pacu bandara, bukit-bukit hijau,
lapangan sepak bola dengan lintasan lari mengelilinginya, serta pantai dan laut
di sisi barat dan timur. Udara di sini begitu sejuk untuk menenangkan rasa
capek. Kami menikmati ketenangan alam di sini dan tentu saja mengabadikan
keindahannya dalam bentuk foto.
Perjalanan
selanjutnya adalah Bukit Cinta, di sisi utara pelabuhan Labuan Bajo. Dari bukit
milik Luna Maya ini kita dapat menyaksikan Labuan Bajo dari ketinggian,
setianya dermaga kayu menyambut perahu, dan indahnya pulau-pulau kecil di
sekitarnya. Rerumputan hijau dan beberapa pohon lontar turut menghiasi bukit
ini. Dibutuhkan sepuluh menit mendaki untuk sampai ke puncak bukit ini. Langit
mulai berubah warna kekuningan. Kami meninggalkan bukit Cinta dan pindah ke
Bukit Ketentang, sekitar sepuluh menit perjalanan ke arah Pantai Waicicuk.
Dari
kejauhan terlihat siluet seseorang sedang mengambil foto diri sendiri. Di
sampingnya seorang laki-laki mengambil foto pasangannya. Kami mendaki bukit
yang sepenuhnya ditumbuhi rerumputan itu. Dari puncak bukit kita dapat melihat
matahari terbenam dan menyapu permukaan laut dengan warna keemasan. Sedangkan
di sisi timur selain laut, bukit-bukit hijaupun mulai tampak kekuningan. Bukit
Ketentang salah satu tempat terindah untuk menikmati matahari tenggelam di
Labuan Bajo dan kami menutup perjalanan hari pertama di sini.
Jumat,
3 Juli 2015. Labuan Bajo
mantapss
BalasHapusTerima kasih sudah mampir ke sini ,mas Sibolang. Blognya keren, saya sudah main-main ke sana tadinya.
HapusKeren euy!!!
BalasHapusTerima kasih mbak endah.
HapusSeharian ngebaca cerita abang mulai cerita dari 1 januari 2015 - postingan kali ini , Seru bang !!
BalasHapusdi tunngu cerita berikutnya bang ( apalagi yg jual es lemon honeynya di labuan bajo ) dan upload-tan foto di instagram
@nino_celly9
Siaaap. Tentang jualan honey lemon tea belum tahu kapan mau diposting di sini. Mungkin ada postingan khusus nantinya.
HapusKeputusan untuk berjalan nya sangat keren. Inspiratip. :) Selamat mengenang perjalanan selama 27 tahun. :)
BalasHapusPerjalanan mengajarkan banyak hal kepada saya. Terima kasih sudah mampir ke sini Atrasina.
HapusKeren bg guru,,,nio pulo melakukan perjalanan bantuak tu,,tapi keberanian yg alun ado,,mancaliak foto2 nyo buek ngiler nio ka t4 tu..
BalasHapusbang, kalau dalam sehari sempat gak untuk visit ke goa batu cermin dan cunca wulang waterfall ? saya dan teman mau ke labuan bajo tgl 12 nanti. trims.
BalasHapusSempat, ke Goa Batu cermin dulu paginya, aetelah itu jam 10 bisa jalan ke Cunca Wulang, lama perjalanan Bajo-Cunca Wulang sekitar 1-1,5 jam, sarannya bawa motor sampai ke ujung hutan agar hemat waktu, jangan tinggalkan di pos. Jaraknya bisa setengah jam jalan kaki.
Hapus