Labuan
Bajo bergeliat cepat pada pagi hari. Sepeda motor dan mobil berseliweran di jalan satu
arah yang mengitari daerah sekitar pelabuhan. Begitupun di pelabuhan TPI
(Tempat Pelelangan Ikan). Kami sampai di pelabuhan yang berjarak sepelemparan
batu dari pelabuhan Pelni ini pukul setengah sembilan pagi. Saya, Lawrence,
bang Oyang, dan pak Bahtiang akan berangkat ke Pulau Komodo dengan menggunakan
motor ojek. “Motor ojek adalah perahu yang digunakan masyarakat Komodo untuk
pulang-pergi ke Bajo” penjelasan dari pak Bahtiang setelah saya menyangka motor
ojek adalah sepeda motor.
Motor
ojek ini berangkat satu kali dua hari dari Labuan Bajo-Pulau Komodo dan
sebaliknya dengan ongkos Rp 25.000
sekali jalan. Berangkat dari Labuan Bajo sekitar pukul sembilan pagi setiap
hari Senin, Rabu, dan Jumat. Namun, pagi itu keberangkatan molor dua jam karena
menunggu penumpang kapal yang masih berbelanja kebutuhan warungnya. Perjalanan
dengan motor ojek biasanya memakan waktu tiga sampai empat jam, tapi karena
satu dari dua mesin perahu mati, perjalanan kami tempuh selama lima setengah
jam. Di atas perahu yang berpenumpang sekitar dua puluhan orang ini suasana
begitu hangat. Beberapa penumpang laki-laki bermain kartu untuk menghilangkan
rasa bosan. Saya mengobrol dengan beberapa penumpang di bagian belakang kapal.
Lawrence di bagian tengah kapal sambil menutup telinganya karena suara mesin yang keras.
Pemandangan
selama perjalanan membuat saya terus terjaga. Nama tempat-tempat yang familiar
di Instagram saya lewati seperti: Pulau Kelor, Padar, Kanawa, Pantai Pink, dan
beberapa pulau lain yang juga tampak menarik. Air laut sudah surut saat kami
sampai di Pulau Komodo. Belasan anak-anak berkumpul di ujung dermaga kayu dan
melambai-lambaikan tangan mereka ke arah kami. Jumlahnya makin bertambah saat
perahu mulai bersandar. Tiga gerobak dorong juga ikut menanti di ujung dermaga.
Motor ojek ini tidak hanya membawa penduduk ke Pulau Komodo, tapi juga membawa
kebutuhan penduduk Pulau Komodo.
Di
Pulau Komodo kami menginap di rumah pak Bahtiang. Besok paginya dengan
menumpang perahu pedagang kami berangkat ke Loh Liang. Hari ini tujuannya hanya
untuk melihat langsung komodo dari dekat. Kami didampingi Pak Ifin yang
merupakan ranger senior Taman Nasional Komodo (TNK). Beberapa turis luar tampak
berdiri melingkar dari kejauhan. “Itu sudah komodonya yang dilihat mereka” kata
pak Ifin. Kami mepercepat langkah. Antusiasme menguasai diri untuk melihat
kadal raksasa yang hanya ada di Indonesia ini.
Di
bawah bayang pohon asam ia tidur dengan tenang. Sesekali lidahnya dijulurkan
dan kepalanya diangkat sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya. Hanya bagian
kepala dan ujung kaki depannya saja yang disirami cahaya matahari langsung.
Kukunya hitam melengkung tajam. Garis-garis tegas di kulitnya terlihat
membentuk kotak-kota segi empat. Komodo dengan panjang sekitar tiga meter itu
menjadi pusat perhatian pengunjung. Beberapa ranger bersiaga dengan tongkat
kayu bercabang untuk mengawasi pergerakannya demi keselamatan pengunjung. “Dia kemarin habis makan rusa, karena itu
hari ini cuma tidur dan berjemur saja” kata pak Ifin menunjuk hewan berdarah
dingin yang berusia sekitar dua puluh tahun itu.
Setelah
puas melihat dan mengambil foto komodo kami diajak pak Ifin trekking di jalur
terpendek yang ada di Loh Liang. Jalan kaki sekitar lima menit dari dapur
petugas TNK--tempat melihat komodo sebelumnya-- kami sampai di Fregata Hill. Dari
sini dapat menikmati pemandangan pantai dan dermaga Loh Liang, serta dan bukit-bukit
hijau di sekitarnya.
Dari
Fregata Hill kami kembali ke kantor registrasi TNK untuk mengumpulkan informasi
tentang trekking adventure track yang akan diambil Lawrence besok
harinya. Setelah itu kami berkeliling ke pusat souvernir di Loh Liang. Patung
komodo berbagai ukuran tersedia di sini. Bahkan ada yang sepanjang dua meter
dan terlihat menyerupai aslinya dari kejauhan. Beberapa perhiasan dari mutiara,
tulang dan tanduk juga dijual di sini, serta pakaian dengan ciri khas gambar
komodo dan peta Taman Nasional Komodo. Pedagang di sini semuanya adalah
penduduk Pulau Komodo yang sepenuhnya mengandalkan pencaharian mereka dari
berjualan. Jika kalian datang ke sini, sempatkanlah membeli agak satu atau
beberapa dari yang mereka jual.
Menjelang
pulang ke kampung Komodo kami menikmati mie rebus telor yang dijual pedagang di
sana. Selesai makan, seekor komodo sepanjang tiga meter terlihat berjalan di
sepanjang pantai. Langkahnya mantap. Keempat kakinya menopang kuat tubuh
besarnya. Hanya ujung ekornya saja yang menyentuh pasir dan meninggalkan jejak garis-garis
melengkung. Harapan melihat komodo hari itu terpuaskan. Jika sebelumnya hanya
melihat komodo tidur, maka dilengkapi oleh komodo yang terakhir. Setelah itu
kami memutuskan pulang dengan berjalan kaki. Perjalanan menyisir pantai itu
hanya membutuhkan dua puluh menit untuk sampai di kampung Komodo.
Hari
berikutnya saya dan Lawrence sudah sampai di Loh Liang sejak pukul 7 pagi.
Lawrence memilih program trekking di adventure track dari Loh Liang sampai Loh Sebita. Biayanya programnya lima
ratus ribu, maksimal peserta lima orang untuk satu ranger. Kami menunggu sampai
jam delapan untuk mendapatkan teman share
cost. Satu jam menunggu tidak ada
satu orangpun pengunjung yang memilih program ini. Pada umumnya pengunjung di
Loh Liang memilih trekking di medium track. Setelah menyelesaikan registrasi dan pembayaran kami mulai
berjalan didampingi pak Ifin.
Jalan
mendatar dan luas menyambut di awal perjalanan sampai ke waterpode—kolam buatan untuk minum hewan dari air yang dialirkan
melalui pipa. Di sini kami melihat seekor komodo yang sedang minum. Selepas waterpode jalur melewati jalan setapak
menembus hutan. Berbagai jenis suara burung mulai terdengar riuh. “Itu suara
kakak tua” kata pak Ifin saat kami melintasi sungai kecil yang sudah kering.
Namun kami tidak sempat melihat tubuh burung yang indah itu karena belukar yang
tumbuh begitu padat. Babi hutan dan rusa sangat banyak kami temukan di
sepanjang perjalanan. Kedua hewan ini merupakan makanan favorit dari komodo.
Menjelang
jalan menanjak ke puncak Rudolf, pak Ifin mengambil jalan berbelok ke kiri.
Jalan itu membawa kami pada gundukan tanah setinggi setengah meter dengan
diameter sekitar dua meter. Gundukan tanah ini adalah sarang burung maleo.
Burung maleo dewasa besar badanya hanya sebesar ayam kampung remaja, namun
memiliki telor kurang lebih sebesar badannya. Karena itu biasanya burung maleo akan
pingsan setelah bertelor. Gundukan tanah sarang burung maleo ini juga sering
dijadikan sarang oleh komodo pada saat musim kawin.
Jalan
yang kami tempuh mulai menanjak. Vegetasi mulai berganti. Di kiri-kanan jalan
ditumbuhi ilalang setinggi dada dan beberapa pohon lontar. Di belakang kami Loh
Liang tampak keseluruhannya, sesuai namanya loh yang berarti teluk-- diapit
oleh dua bukit di kiri-kanannya. Dari sini terlihat juga hutan yang baru saja
kami lalui. Di sini kami beristirahat sejenak sambil menikmati cemilan. Tidak
terasa dua jam perjalanan sudah ditempuh. Puncak Rudolf ini merupakan akhir
perjalanan jika memilih program long
track. Lawrence yang meyakini sepenuhnya informasi dari Lonely Planet tidak
mau hanya sampai di sini, karena berhenti di sini merupakan bad decision menurut kitab panduan travelling itu.
Ada
salib berwarna putih terpancang di sini. Salib ini untuk mengingat Baron Rudolf
Von Reding yang hilang dalam perjalanan pulang dari Poreng ke Loh Liang.
Wisatawan asal Belanda yang diduga dimakan oleh kadal yang memiliki dua puluh lima jenis
bakteri di lidahnya. Puncak yang banyak ditumbuhi pohon lontar dan memiliki
pemandangan indah ini diberi nama almarhum sebagai suatu bentuk penghormatan.
Tidak jauh dari salib ini kami melihat seekor komodo liar. Saat didekati komodo
ini langsung lari tanpa bisa lagi diikuti.
Selepas
Puncak Rudolf kami melewati jalan setapak yang membawa ke Puncak Lontar Satu.
Dari sini pemandangan Loh Sebita dan pulau-pulau kecil di sekitarnya memanjakan
mata. Hijaunya hutan dan bukit-bukit disambut langsung oleh birunya lautan.
Puluhan batang pohon lontar yang tumbuh di sini melengkapi keindahan dari
puncak ini. Walaupun cuaca pada siang itu panas, namun suasana di sini tetap sejuk
karena angin yang terus berhembus.
Jalan
selanjutnya merupakan jalan setapak yang menurun dan membawa kami ke hutan
asam. “Kalau sedang musim panen asam, itu sudah orang kampung Komodo banyak ke
sini” penjelasan pak Ifin tentang hutam asam ini. Di ujung hutam asam ini kami
disambut oleh sabana yang sudah mengering. Rumput di sini mulai kecoklatan.
Kalau musim hujan biasanya jalan di sini akan tergenang air dan besar
kesempatan dapat melihat kerbau liar yang juga merupakan penghuni Pulau Komodo.
Beberapa
ekor rusa tidur bermalas-malasan di bawah rindang pohon, tidak jauh dari sana
juga ada babi hutan yang langsung lari ketika melihat kami lewat. Di ujung
sabana kami dapat melihat pos pengamatan TNK di Loh Sebita. Bagunan semi permanen
ini berdiri di antara padang garam yang ada di kiri-kanannya. Dari depan rumah
ada jalan kecil yang mengarah ke hutan bakau. Di ujung jalan itu ada jembatan
kayu yang akan membawa ke dermaga satu-satunya di Loh Sebita.
Daun-daun
bakau yang gugur bertebaran di lantai jembatan kayu dengan pagar setinggi
pinggang itu. Di ujung jembatan terdapat bagian yang lebih lebar dengan empat tiang kayu di masing-masing
sudutnya. Bagian ini lebih rendah hingga sebagian tertutup air. Saya duduk
menghadap ke biru lautan di atas tangga yang menjadi penghubung kedua bagian
itu. Angin sejuk datang dari arah depan. Kicauan burung bersahutan dari
ranting-ranting pohon bakau. Riak air yang mengetuk tiang-tiang dan lantai
dermaga, serta pangkal pohon-pohon bakau menciptakan alunan musik yang unik dan
melenakan. Sesekali kecipak ikan di hutan bakau ini menjadi tempo dari musik
alam yang indah ini.
Beberapa
saat saya hanya duduk tenang menikmati sambutan alam di sini. Memejamkan mata
dan membiarkan indera perasa dan pendengaran dimanjakan alam. Rasa capek dari
perjalanan sebelumnya terlupakan, termasuk gadget yang tersimpan di kantong.
Tidak terasa sekitar tiga puluh menit saya nikmati hanya dengan duduk tenang di
sini. Angin sejuk perlahan berhenti dan suara riak air menghilang, namun
suasana tetap nyaman dinikmati. Setelah mengambil beberapa foto, Lawrence
datang, lalu memuji-muji keindahan tempat ini. Saya ikut mengamini jika tidak
melanjutkan perjalanan ke Loh Sebita merupakan suatu keputusan yang kurang
tepat, seperti kata Lonely Planet yang diyakini Lawrence.
Jumat, 10 Juli 2015.
Labuan Bajo
Informasi
lain:
1.
Biaya
trekking adventure track Loh Liang-Loh Sebita atau Loh Liang-Gunung Ara Rp
500.000/program. Maksimal 5 orang untuk 1 ranger.
2.
Jika
tidak dijemput perahu di Loh Sebita, disarankan mulai jalan sejak pagi,
maksimal jam 9, karena membutuhkan 7-8 jam perjalanan pulang pergi.
3.
Membawa
persediaan air yang cukup serta bekal untuk makan siang.
4.
Memakai
pakaian yang tertutup, karena jalurnya masih banyak semak yang bisa melukai
kulit.
Membaca Lonely planet ditemani segelas kopi toraja ala sulsel ,, dan bang uda di temanin kopi floresnya.. keren nih bang saya nunggu critanya abang yg jadi ranger nya betapa serunya
BalasHapusTerima kasih Nino, kebetulan saya tidak sedang minum kopi Flores, tapi minum teh hangat pakai madu malam ini.
BalasHapushahaha , salah nebak
Hapushuhuhuuu.. setelah kemarin batal ke flores dan komodo, membaca postingan ini bikin mau nangis saking pengennya. semoga bisa kesana, amin!
BalasHapusAmiiiin. semoga segera terwujud yah. Flores memang indah, dan pulau Komodo juga sangat menarik dengan kadal raksasanya dan pemandangan alamnya.
HapusSalam kenal bang, rencana saya mau bikepackeran ke labuan bajo, mungkin awal agustus kita bisa ketemu disana buat sharing2 info traveling ala2 backpacker ke komodo, adakah kontak yg bisa saya hubungi bang ? Makasih :D
BalasHapusSalam kenal juga Wildan.
HapusSilahkan hubungi saya via line: udaguri
Kalau Agustus saya sudah di Pulau Komodo nantinya, tapi tetap bisa bantu-bantu informasi lah. Hubungi saja nanti ya.
Semoga kesampean ke sini jugaaaa! MAUK!
BalasHapusAmiiiin. Semoga segera terwujud keinginannya.
HapusHalo mas. Kebetulan bulan depan saya ada rencana ke komodo pas pertengahan bulan. Adakah kontak kapal buat LOB yg harganya mungkin lbh bersahabat? Kali-kali punya. Hehe. Tabik:D
BalasHapusHallo mbak Atiqoh, ada, namanya bapak Hussen, silahkan kontak dia ke 081337157357.
BalasHapusTabik..