Pagi
Minggu yang riuh menyambut saya di pelabuhan Pelni Makassar. Para kuli angkut
dengan nomor-nomor di rompinya berebutan masuk saat pintu kapal mulai terbuka.
Ibu-ibu pedagang asonganpun tak kalah gesit berebut masuk. Para penumpang
bergegas turun dengan barang bawaan masing-masing, sebagian besar dijunjung di
pundak. Saya mengamati keriuhan ini dari dek luar kapal.
Setelah
semua keriuhan ini berlalu, saya dan tiga orang teman lainnya mulai turun.
Tawaran taksi dan ojek kami lewati sampai di ujung jalan di luar pelabuhan.
Rizki sudah dijemput pamannya, Agus dijemput temannya, dan bang Sahal sudah
berangkat ke hotel setelah memesan tiket ke Selayar, saya memesan coto Makassar
kaki lima sambil menunggu Dio menjemput.
Dio
langsung membawa saya ke rumahnya di Daeng Tata. “Ko mau ke mana di sini”?
tanyanya. “Saya cuma penasaran mau ke Fort Rotterdam”. Siang itu saya habiskan
untuk beristirahat di rumahnya. Malam pertama di Makassar saya dibawa ke pantai
Losari untuk menikmati pisang epe, bersama Patric dan Joy. Namun pameran
lukisan di Makassart Gallery sangat menarik perhatian. Sambil menikmati lukisan
yang dipajang di sana, saya mencoba mengingat kapan terakhir melihat pameran
lukisan. Sudah lama sekali.
Suatu
pesan yang mendadak mengajak Dio ke Zona Night Club. “Ko mau ikut?” tawarnya.
“Mau, sih. Tapi saya gak minum ya”. Setelah menunggu temannya selesai tampil,
akhirnya kami bisa masuk. Gemerlap lampu berbagai warna, variasi bunyi musik
dari DJ yang sedang tampil, serta bartender yang memainkan botol-botol minuman
menyambut tamu datang. Lalu tamu makin banyak datang. Menduduki kursi-kursi
bewarna gelap. Sebagian mereka adalah perempuan dengan make up dan pakaian yang
menarik mata lelaki. Dalam ingatan kembali muncul pertanyaan “kapan terakhir
kali masuk klub malam?”.
Hari
berikutnnya saya ditraktir makan Sop Konro Karebossi oleh Sofi-- perempuan
manis Makassar yang saya kenal waktu di Labuan Bajo. Makan siang yang nikmat dengan
cerita yang hangat. Setelah itu saya dan Dio mengunjungi benteng Fort
Rotterdam. Bangunan pertama yang kami masuki adalah Museum La Galigo dengan
membayar Rp 5.000 /orang.
Memasuki
museum serasa terbawa ke suatu ruang dalam kenangan. Benda-benda yang
mengingatkan pada suatu tempat, kejadian, atau waktu tertentu. Namun kenangan
yang paling kuat selama berjalan-jalan dalam museum ini adalah: beberapa
peralatan pertanian dan pelaminan yang dirasa mirip dengan peralatan dan
pelaminan di daerah asal saya, yaitu, Sumatera Barat.
Satu
bangunan yang menurut saya unik adalah bangunan bekas gereja yang terletak di
tengah-tengah komplek benteng. Dua jendela di dinding dan lorong dengan atap
melengkung di bawahnya seolah manjadi dua mata dan mulut yang menganga siap
memangsa orang yang masuk ke dalamnya. Di lorong itu terdapat meniatur benteng,
beberapa perlengkapan pertanian masa lalu dan benda bersejarah lainnya. Setelah
itu saya dan Dio bersantai di ujung benteng arah ke pantai. Duduk di atas
dinding tembok yang banyak dihiasi lubang bekas peluru.
Gedung yang senang makan orang |
Es
kelapa muda di seberang jalan menarik selera kami. Sambil menunggu Iqbal kami
menikmati es kelapa muda yang menghadirkan kesegaran. Pertemuan nyata selalu
menghadirkan cerita dan kesan lebih banyak daripada mention di media sosial. Entah mengapa, saya sangat menyukai
pertemuan nyata dengan siapapun. Termasuk ketika Iqbal—teman di
Instagram—mengajak untuk bertemu pertama kalinya.
Menjelang
matahari tenggelam di laut Makassar, kami berjalan ke bekas tempat peluncuran
kapal Phinisi. Menurut Dio di sana ada beberapa lukisan kapal Phinisi. Hanya
ada dua lukisan saat kami sampai di sana. Setelah itu matahari yang hampir
hilang dari langit menjadi lebih menarik. Tiba-tiba Dio datang. “Ko harus ke
sini. Cepat. Mau ke Bira, kah?”
Dio
dan saya ditawari ikut kapal phinisi ke Bira oleh bang Azwar, tukang interior
kapal. Pelayaran selama delapan jam yang menarik sudah terbayang dalam pikiran.
Namun jadwal keberangkatan belum bisa dipastikan. Diperkirakan minggu ini atau
minggu berikutnya. Selama itu kami menunggu dan menanyakan ulang kepada bang
Azwar. Kabar yang kami terima selanjutnya, kapal sudah penuh dan kami tidak
bisa ikut. Hufffttt...
Keberuntungan
berlum berpihak saat ini, namun Toraja menjadi pengganti yang sangat menarik
dalam perjalanan ini. Ceritanya pada postingan selanjutnya.
Sabtu, 28 November
2015. Raja Ampat