Bagian
Pertama
Bang, tanggal 9
(November) ada Lovely Toraja dan Rambu
Solo. Itulah pesan
dari Agus—teman sewaktu di kapal Pelni tujuan Makassar--yang saya terima dua
hari sebelum tanggal yang disebutkan. Namun Agus tidak bisa menjelaskan lebih
lengkap informasi tentang acara tersebut. Toraja adalah salah satu tempat yang
ingin dikunjungi selama di Sulawesi Selatan. Pesan Agus di atas menjadi godaan
untuk segera ke sana. Setelah memberitahu Dio, kami langsung memutuskan
berangkat ke Toraja pada tanggal itu dengan motor jantan milik kakaknya, Joey.
Sedangkan Wuri—teman sewaktu di Labuan Bajo yang juga sedang di
Makassar—berangkat dengan bus.
Selepas
magrib hujan turun di Enrekkang. Kami memutuskan berhenti sambil makan malam.
Hujan menyisakan gerimis dan tanah basah di permukaan jalan. Perjalanan kembali
dilanjutkan. Di Kalosi, di dekat jembatan yang sedang dibangun, motor yang kami
tumpangi tiba-tiba saja roboh, bagai banteng kena serangan jantung mendadak.
Saya mendapati tubuh terkapar di lumpur, begitupun Dio. Bagian tubuh sebelah
kiri penuh lumpur dari bahu sampai ujung kaki. Setelah memastikan tidak ada
bagian yang luka, kami tertawa. Entah mengapa, motor jatuh ini terasa lucu,
atau mungkin, kami berusaha menghibur diri di tengah tragedi.
Jam
menunjukkan angka 21.30 saat kami sampai di Rumah Singgah Toraja, Rantepao.
Sambutan hangat kami terima dari Agung—pemilik rumah singgah—dengan kopi
Toraja-nya. Wuri yang berangkat naik bus dari Makassar sudah sampai lebih dulu.
Dinginnya Toraja kami nikmati dengan kopi dan percakapan yang hangat. Rasa
capek dari sebelas jam perjalanan perlahan menguap.
Pagi
pertama di Toraja kami isi dengan mengunjungi Kete’ Kesu yang ditempuh sepuluh
menit dari rumah singgah. Konon, di sini terdapat Tongkonan tertua di Toraja.
Agung yang merupakan keluarga besar dari klan pemilik tongkonan ini menjadi
pemandu kami. Sekitar sepuluh orang laki-laki tampak sibuk di salah satu
tongkonan. “Mereka sedang bikin panggung untuk pesta pernikahan” kata Agung.
Lalu kami diajaknya ke museum di tongkonan lainnya.
Koleksi
museum itu terdiri dari peralatan pertanian yang digunakan nenek moyang orang
Toraja, pakaian, senjata, perhiasan, perlengkapan perang, keramik, uang kuno,
patung, kepingan tengkorak, bangkai burung langka yang sudah diawetkan, dan lukisan
lelulur mereka. Salah satu hal yang menarik adalah tengkorak babi hutan. Bapak
Soni—penjaga museum—menjelaskan kalau tengkorak itu adalah jelmaan setan yang
berhasil dikalahkan oleh leluhur mereka. Ketika dipotong, badannya raib begitu
saja, dan yang tersisa hanya bagian kepala. “Kalau kamu beruntung, fotonya
dapat dilihat nantinya” jawab bapak Soni ketika saya menanyakan apakah
tengkorak itu boleh difoto.
Mencoba sumpit Toraja |
Di
samping museum terdapat galeri yang menjual karya seni asli Toraja. Ukiran di
kayu dengan motif tongkonan, kerbau, dan beberapa falsafah hidup suku Toraja
dengan warna-warna menarik menggoda indera penglihatan saya. “Ini pakai warna
alami dari tanah” kata ibu penjualnya ketika saya melihat ukiran dengan motif
menyerupai matahari. Harga yang ditawarkan sangat terjangkau, misalnya Rp
10.000 untuk 6 buah gantungan kuncil berbentuk tongkonan, dan jam dinding penuh
ukiran seharga Rp 150.000.
Komplek
pemakaman di dekat tongkonan itu menjadi tujuan kami selanjutnya. Dalam
bayangan saya, saya akan melihat puluhan atau ratusan tengkorak tergeletak di dinding-dinding
tebing batu yang menciptakan suasana yang meyeramkan. Namun, di awal saya
menemukan komplek pemakaman berbentuk rumah batu dan tongkonan dari beton.
Kuburan beton yang sangat besar berbentuk tabung melintang dengan bagian atas
mengerucut menjadi bagian intinya. Rentangan kedua tangan saya tidak cukup
untuk mengukur diameternya. Menurut Agung, tabung beton itu menyimpan
jasad-jasad dari keluarga besar yang fotonya dipajang di atas tongkonan.
Bayangan
yang hadir dalam kepala saya baru terwujud setelah menaiki tangga beton. Di
sebelah kiri, puluhan tengkorak tersimpan dalam peti kayu tua. Beberapa
tengkorak disusun di atas batu. Tulang belulang ditumpuk di peti yang terbuka
atau di atas tanah. Suasana menyeramkan yang sempat dibayangkan, tidak saya
rasakan. Mungkin arwah dari tengkorak-tengkorak itu sudah biasa menerima
kunjungan dari tengkorak-tengkorak yang masih dilapisi daging hidup ini.
Agung
lalu mengajak kami ke dalam goa di ujung tangga. Di sini ada beberapa peti yang
berisi jenazah dan botol-botol minuman serta rokok kegemaran jenazah saat masih
hidup. Goa itu dingin, gelap, di lantainya terdapat beberapa genangan air.
Stalagtic menghiasi langit-langitnya di antara coretan grafiti asal-asalan. Di
tempat seperti ini, masih saja terjadi vandalisme yang merusak keindahan. Seni
macam apa yang menjadi landasan mereka, dan kepuasaan macam apa yang mereka
dapatkan dengan menuliskan nama, inisial, geng, dan pernyataan perasaan kepada
seseorang di tempat ini. Entahlah.
Gerimis
yang turun menutup perjalanan di Kete’ Kesu. Kami melanjutkan perjalanan ke komplek
pemakaman Londa. Di sini kami membayar pemandu dengan lampu petromak sebesar Rp
50.000. Dari jauh terlihat peti-peti kayu yang dipasang di dinding batu, dan
yang mencolok adalah patung-patung kayu jenazah yang ada di sana. Pemandu
membawa kami ke goa yang menyimpan beberapa peti jenazah. Di pintu goa terdapat
beberapa peti berukuran kecil. “Peti itu berisi jenazah anak-anak yang telah
tumbuh gigi. Kalau yang belum tumbuh gigi disimpan dalam pohon” kata pemandu
kami.
Salah
satu peti jenazah di dalam goa tidak memiliki tutup. Tengkorak jenazah itu
telihat jelas. Bagian kepalanya tersingkap di antara batang-batang rokok dan
kepingan uang receh berwarna perak dan emas. Beberapa saya lihat kepingan Euro
20 cent. Melihat jenazah ini, pikiran saya langsung melayang pada salah satu
scene film Pirates Carribean—tengkorak di tengah tumpukan harta karun.
Menjelang
sore, di bawah langit mendung, kami menyempatkan diri ke Limbong—danau kecil
yang dikelilingi tebing batu di puncak bukit. Jalan kecil berkelok-kelok dan
tanjakan-turunan curam membawa kami ke sana. Setelah mendaki tangga, kami di
sambut lolongan anjing-anjing yang berkeliaran di sana. Danau yang berwarna
kehijauan itu tampak tenang di bawah kaput tipis yang menaunginya. Seorang
pemancing memeriksa pancing-pancing yang dilepas satu persatu di dekat tebing
batu. Menjelang mangrib, suasana di sini makin sendu. Tapi, gerimis perlahan
turun, seakan meminta kami untuk segera pulang dan menikmati keindahan lain
dari Toraja. Kopi.
Ini
adalah bagian pertama dari cerita perjalanan saya ke Toraja. Pada postingan
selanjutnya saya akan bercerita tentang kopi Toraja, Rumah Singgah Toraja,
keadaan kota, bukit Nona, cakar di Pare dan perjalanan pulang ke Makassar.
Tabik!
Sabtu,
5 Desember 2015. Raja Ampat
Wah aku dulu ke Toraja 2013 tapi belum sempat nulis artikelnya haha. Mantap Mas :D
BalasHapusBulan Desember ini waktu yang tepat untuk berkunjung lagi ke sana mas.
HapusTerima kasih sudah singgah ke sini.
perjalanan tidak hanya mengingatkan kematian, begitu juga dengan kehidupan.
BalasHapusmantab uda ceritanya, semoa suatu saat bisa ke toraja juga.
Desember ini waktu yang tepat untuk mengunjungi Toraja mas Heri. Semoga tahun ini atau tahun depan terwujud ya keinginannya.
Hapus