Cahaya
kemerahan matahari senja kesulitan menembus awan gelap Toraja sore itu. Dingin
mengungkung. Lampu-lampu menyala bagai kunang-kunang yang keluar dari sarang.
Rintik-rintik kecil turun dan meninggalkan titik-titik gelap di pakaian. Sebelumnya,
di kota yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani ini, kami menuntaskan
sholat Ashar di masjid di tengah kota. Cukup mudah menemukan masjid dan warung
makan muslim di dalam kota Rantepao. Setelah itu, demi suatu keafdolan
kunjungan ke Toraja, kami mendatangi suatu kafe dalam perjalanan pulang.
Di
Butang Resto & Cafe kami menikmati sore yang basah dengan pilihan kopi masing-masing.
Segelas kopi arabica Toraja dalam cangkir loyang mengeluarkan asap tipis saat
dihidangkan. Saya mencium aromanya yang memberikan kehangatan. Rasanya berbeda
dengan kopi-kopi yang telah saya nikmati sebelumnya. Rintik-rintik hujan turun
makin deras. Biasnya meninggalkan bulir air yang turun berliku-liku kecil di
dinding kaca. Kehangatan demi kehangatan dari kopi mengalir melalui
tenggorokan. Aih...
Bang
Aan Mansyur merekomendasikan saya untuk menikmati kopi Toraja di warung kopi
favoritnya. Perjalanan ini menjadi semacam perjalanan dari warung kopi ke
warung kopi lainnya. KAA Coffee Shop adalah perhentian kami berikutnya. Ada dua
jenis kopi yang terkenal di sini, yaitu Awan dan Sapan. Nama yang diambil dari
nama daerah tempat tumbuhnya kopi ini. Setelah bercerita dengan pemilik
warungnya, saya mengetahui kalau dua jenis kopi itu pernah diekspor ke luar
negeri, dan bapak pemilik warung pernah mendampingi vice president Starbucks
berkeliling Toraja dalam penelitiannya. Di sini secangkir kopi dihargai Rp
20.000, dua kali lipat dari harga kopi di kafe pertama.
Pilihan kopi dan snack di KAA Coffe Shop. Photo oleh alifwidiarta |
Langit
Toraja sudah diselimuti gelap seutuhnya. Kami berenam—Saya, Dio, Wuri, Agung,
Alif, Rusli—pulang ke Rumah Singgah Toraja milik Agung. Rumah singgah ini
diinisiasi untuk membantu penginapan cuma-cuma bagi orang yang ingin
mengunjungi Toraja. Rumah ini hanya berjarak sekitar lima menit berkendara dari
Kete’ Kesu. Agung yang masih kuliah di
UKI Toraja tinggal sendirian di rumah ini. Jadi bagi yang ingin menginap di
sini bisa menghubunginya sejak jauh hari. Setelah sampai di rumah, kopi Toraja
kembali hadir di tengah-tengah perbincangan kami pada malam terakhir di sana.
Jam
10 besok paginya kami bersiap meninggalkan Rantepao untuk tujuan selanjutnya,
Pare-pare—tempat singgah sebelum ke Makassar. Di pasar Sudu, Enrekkang, sebelum
gunung Nona, kami makan siang dengan nasi Padang. Pilihan yang sudah terjamin
rasa dan standar harganya.
Gunung
Nona, nama aslinya Buttu Kabobong—menurut saya lebih cocok itu disebut bukit, terkenal karena pada satu
bagian tebing dan lembahnya mirip vagina. Begitulah cerita dari orang-orang
yang saya tanya perihal keunikan dan alasan namanya Nona. Di kafe yang
berhadapan langsung dengan tebing dan lembah mirip itu, kami memesan kopi,
sebagai alasan agar dapat menikmati suasana dan mengambil beberapa foto. Dua
gelas kopi hitam dihargai Rp 15.000 untuk menemani setengah jam kami duduk di
sana. Saya rasa tempat ini jadi menarik sebagai tempat singgah dalam perjalanan
jauh, bukan karena tujuan utama.
Perjalanan
kembali dilanjutkan, dua jam berikutnya kami sampai di Pare-pare. Erwin telah
menunggu di depan rumahnya. Di rumahnya kami melepas capek perjalanan dengan
bercerita sambil leyeh-leyeh di teras menjelang sore. Setelah itu kami diajak
ke salah satu kafe, dengan pemandangan kota Pare-pare di bawahnya. Malam datang
dengan kelamnya. Perjalanan selanjutnya ke cakar atau pasar barang-barang
seken. “Kalau ke Pare-pare harus singgah ke cakarnya, bang” begitulah pesan
seorang teman sewaktu di Makassar.
Memasuki
cakar saya tidak punya niatan untuk membeli apapun. Namun barang-barang yang
dijual di sana sangat menggoda uang di kantong yang tidak seberapa. Mulai dari
sepatu, sarung tangan, ikat pinggang, topi, dan pakaian. Hampir semua barang
yang dipajang dalam kondisi bagus dan dijual dengan harga miring. Pada akhirnya
saya membeli sneakers Adidas seharga Rp 100.000 dan bucket hat Rp 30.000 serta
menyisakan rasa penasaran kepada celana surfing yang ditawarkan Rp 80.000 yang
tidak sempat dibeli.
Sebelum
pulang ke rumah, kami mampir lagi ke Monumen Cinta Sejati bapak Habibie dan ibu
Ainun untuk menemani Wuri yang belum sempat ke sana. Ketika mengambil foto,
saya melihat dan mendengar seseorang memprospek beberapa orang lainnya untuk
ikut MLM yang namanya terkenal sekitar tahun 2003. Ternyata masih ada militan-militan
penjual mimpi di kota ini. Kami sampai dirumah Erwin, lalu menuntaskan makan
malam. Perpaduan capek dan kekenyangan, membuat saya tidur di teras rumah
sampai keesokan paginya.
Perjalanan
panjang ini melelahkan. Tapi, inilah hidup yang telah saya pilih, berjalan dan
terus berjalan. Kesenanganpun dapat melelahkan. Hidup ini selalu rumit, kecuali
kamu menganggapnya sederhana. Besok, saya akan berjalan dan terus berjalan
lagi.
Tabik!
Senin, 14 Desember
2015. Ternate
sesuai komen di instagram, asyikk... bakal disediain kopi toraja pas blogwalking hehehe
BalasHapusNanti bisa diikuti perjalanannya mas. Kaa coffee shop itu direkomendasikan. Beberap artis ibu kota juga pernah mampir ke sana katanya. hahhaa
Hapusapa ada penjualan kopi toraja di daerah sekitaran parepare dan barru ?
BalasHapus