Percayakah jika kamu berada
di suatu tempat, kamu serasa berada di tempat lain yang jauh.
Setelah
meninggalkan Labuan Bajo, Makassar adalah tujuan selanjutnya. Menjadi kota
besar pertama yang saya datangi setelah dua bulan tinggal di Bima dan lima
bulan di Labuan Bajo. Berada di kota
besar membuat hal-hal kecil terasa menjadi kejutan, misalnya lampu lalu lintas,
kemacetan, mall, bioskop, dan perpustakaan.
Tidak
hanya kejutan dari besarnya kota yang saya rasakan, tapi juga dari kegiatan,
orang-orang, dan keadaan selama di sini. Hal-hal itu serasa membawa saya
kembali ke Semarang, lima tahun yang lalu. Hal pertama yang menjadi pintu
pengantar ke masa lalu adalah datang ke perpustakaan Kata Kerja di Wesabbe.
Bertemu dan bercerita mengenai buku dan sastra dengan bang Aan Mansyur ditemani
kopi hangat. Serta menenggelamkan diri ke dalam buku-buku yang menarik.
Di
Kata Kerja orang-orang datang dan pergi, membaca dan meminjam-mengembalikan
buku, bercerita dan berdiskusi, beristirahat sejenak dan menginap, atau sekadar
menampakkan muka, koran minggu, cerpen, novel, puisi, serta pola hidup
nocturnal. Hal ini sangat mirip dengan kehidupan di basecamp komunitas Histeria
yang menjadi tempat saya berkegiatan selama di Semarang. Begitupun dengan kelas
menulis yang saya ikuti di Kata Kerja, mengingatkan pada kegiatan rutin dalam
komunitas Lacikata selama di Semarang. Hal lain yang makin menguatkan adalah
nasi telor yang menjadi pilihan makanan saat berhemat. Harga dan cara penyajianpun
sama dengan nasi telor yang sering saya makan saat di Semarang. Apakah
perjalanan ini mesin waktu?
Akhir
minggu pertama di Makassar, saya dua kali menemani Kevin dan teman-temannya
latihan di studio band, sebelum mereka tampil sebagai band pembuka di salah
salah satu konser. Setelah tampil, nasi kotakpun dibagikan untuk dinikmati
bersama. Lagi-lagi ini mengingatkan pada kegiatan-kegiatan selama di Semarang.
Dua hari berikutnya, Wuri mengirimkan foto tiket bioskop hasil dari penukaran
poin Telkomsel. Hal yang banyak dilakukan mahasiswa pengguna kartu seluler
tersebut. Dari poin ini saya dapat menonton di bioskop pertama kalinya perjalanan ini. Sensasinya seperti pertama kali menonton di bioskop dalam hidup. Takjub dengan layar yang lebar dan suara yang menggetarkan ruangan. Jangan-jangan mesin waktu itu benar-benar ada.
Di
Makassar saya hanya berencana untuk mampir seminggu paling lama, sebelum
melanjutkan perjalanan ke Ambon. Rencana tinggal rencana. Keadaan dalam
perjalanan seringkali mengingkari rencana yang dibuat sebelumnya. Akhirnya, saya
tiga minggu tinggal di kota yang terkenal dengan cotonya ini. Alasan
perasaanlah yang menjadi penyebabnya. Hal ini kembali mengingatkan pada
kejadian akhir tahun 2010. Perjalanan terjadi atau beralih karena perasaan
kepada seseorang. Saya yakin, perjalanan di Makassar seperti berjalan dalam mesin
waktu.
Tabik!
Selasa,
15 Desember 2015. Ternate.
0 comments:
Posting Komentar