Pada
hari ketiga di Ambon, kami yang awalnya berempat—Ahmad Hasanela, Ano, Andi, dan
saya—terjebak di halte bus menuju bandara Pattimura. Kami tidak sedang menunggu
bus, juga tidak sedang menunggu orang-orang yang ingin menunggu bus. Sepuluh
menit sebelumnya, saya yang diboncengi Ahmad ditunggu oleh Ano dan Andi di
sini.
Sepuluh menit di paragraf di atas, adalah terlambatnya kami sampai di tempat dan pada waktu yang telah ditentukan saat konser Glenn Fredly. Setelah sampai, kami berempat berbagi kesabaran dalam menunggu teman-teman yang lainnya. Datang dua orang, satu orang, dua orang, dan Satu Orang Terakhir. Satu Orang Terakhir datang dua jam dari waktu yang telah ditentukan. Kepada siapapun di dunia ini, saya yakin kamu akan mendapatkan jawaban sama jika ditanyakan Apakah hal yang paling membosankan?
Foto pertama |
Dua jam ketika menunggu akan menjadi dua jam terlama dalam hidupmu. Secanggih apapun gadget di tangan dan sebagus apapun buku yang dibaca, saya yakin tidak akan mampu menghapus semua bosan yang bersemayam dalam dirimu. Ada tiga cara yang dapat kamu lakukan untuk menikmati waktu selama menunggu. Pertama, lakukanlah kegiatan yang dapat mengalihkan pikiranmu dari orang yang ditunggu. Membaca, memainkan gadget, atau berbincang-bincang dengan orang sekitar tentu lebih baik untuk otot lidahmu, dibandingkan dengan berbincang dengan teman atau follower di media sosialmu. Dengan itu kamu seolah-olah dapat terlihat tidak sedang menunggu. Kedua, kumpulkanlah segala rasa kesal, emosi, rindu atau sayangmu selama menunggu untuk ditumpahkan kepada orang yang ditunggu, saat ia datang nantinya. Ketika ia datang, kamu akan menikmati sensasi dari wajah mereka yang telah membuatmu menunggu begitu lama. Perihal menumpahkannya atau tidak, itu tetap pilihanmu, kecuali kamu orang yang suka basa-basi-busuk. Ketiga, menghilanglah dari tempat menunggu sebelum orang yang kamu tunggu sampai. Rentang waktu saat kamu menghilang dari waktu yang telah ditentukan dapat menunjukkan karaktermu sendiri. Misalnya, kamu menghilang pada menit-menit awal, akan menunjukkan sikap tegasmu terhadap komitmen dan tidak ingin menyianyiakan usiamu untuk keteledoran orang lain. Cara yang ketiga memang membutuhkan ketegaan perasaan, tapi saya rasa sangat dibutuhkan saat ini, di mana waktu yang telah ditentukan seringkali dikaretkan.
Ketika
matahari telah beridiri lurus di atas salib yang banyak terpancang di jalan
menuju bandara, kami sampai di pantai Huluwa. Satu jam dari halte bus tempat menunggu
Satu Orang Terakhir. Di pantai yang berpagar karang tajam ini kami menikmati
makan siang. Kegiatan utama para pengunjung pantai ini adalah mengambil foto—selfie dengan latar belakang karang
tajam atau lautan lepas. Tidak ada yang berenang karena dasar lautnya dalam dan
gelombang kencang. Jika mencari ketenangan sambil menikmati desau angin dan
deru ombak, bersantai di bawah pohon-pohon di dekat tebing adalah pilihan
terbaiknya. Saya memilih kegiatan yang terakhir setelah mengambil beberapa
foto.
Selepas
makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Air Terjun Ureng. “Dua jam lagi,” Ahmad mengatakan lamanya perjalanan ke sana “nikmati saja perjalanannya, Uda”. Cukup jauh. Di sepanjang
perjalanan, di sisi kiri jalan, laut dengan buih putih terhampar rapih, di sisi
kanan, bukit-bukit yang mulai kuning kecoklatan karena kemarau, di setiap
perbatasan kampung, pos penjagaan TNI yang berdiri sejak tragedi kerusuhan
antar agama di sini. Di tengah perjalanan, di sisi kiri, satu batu karang pipih
berdiri, disebut mirip dengan layar kapal hingga terkenal dengan Batu Layar.
Beberapa pengunjung menjadikannya latar belakang foto diri. Saya mengambil foto
sambil lewat dari atas motor. Sebagai kenangan. Lumayan.
Saat kami sampai di pintu masuk Air Terjun Ureng, Adzan
Ashar bergema dari masjid terdekat. Di
jalan setapak menuju air terjun, kami berpapasan dengan tiga rombongan ABG.
Setiap rombongan beranggotakan sepuluh hingga dua puluh orang. Pakaian dan rambut mereka basah, beberapa anak memegang alas kaki di tangan masing-masing.
Saya merasa mereka membawa pesan untuk kami: bawalah handuk dan baju ganti agar
tidak kedinginan setelah berenang, dan berhati-hatilah menuju air terjun, agar
tidak terpeleset karena jalannya kecil, licin, dan berbatu.
Bulir-bulir
air terjun dari tebing setinggi dua puluh meter dan sebagian lagi memilih
menelusuri tebing batu dan menciptakan warna hitam mengkilat. Tebing batu itu
bagai balok-balok batu yang disusun secara miring. Ujung balok-balok batu
dapat menjadi pijakan, jika ingin memanjatnya. Inilah keunikan dari Air
Terjun Ureng. Saya memanjatnya hingga batas keberanian, seperti yang di foto pertama.
Perihal
memanjat dan melompat, bagi saya itu adalah perayaan atas kemenangan melawan
ketakutan pada ketinggian. Sudah begitu lama ketakutan mengikat diri dan
membatasi langkah untuk mencoba hal-hal yang sebenarnya lumrah. Karena itu,
ketika melompat di air terjun yang kedua--setinggi delapan meter--saya merasa melakukan
perayaan kemenangan, untuk kedua kalinya pada hari itu. Saya tidak melakukan
perayaan ketiga kalinya di air terjun yang ketiga. Karena air terjun yang
ketiga bisa disebut sebagai air turun, karena mengalir di atas kemiringan batu
setinggi satu setengah meter.
![]() |
Melompat di Air Terjun Kedua |
Air |
Di
Air Terjun Ureng, hitungan banyak pengunjung berbanding lurus dengan banyak
sampah yang ditinggalkan juga berlaku. Tidak adanya tong sampah di lokasi air
terjun janganlah dijadikan alasan untuk keadaan itu. Selain dari menyediakan tong
sampah, perlu juga dilakukan pengelolaan untuk Air Terjun Ureng. Semisal
menerapkan retribusi, memasang himbauan, dan menjaga kebersihan secara berkala.
Aliran sungai dari Air Terjun Ureng melintasi pemukiman dan menjadi sumber air
bersih bagi penduduk. Jika setiap minggunya pengunjung air terjun ini bisa sampai lima
ratus orang, akan sangat banyak sampah yang menumpuk di hulu, lalu dihanyutkan
ke hilir saat air besar nantinya. Langkah kecil seperti mengumpulkan dan
membakar sampah plastik yang kami lakukan di sana, hanya sebatas mengatasi
sampah pada hari itu, untuk hari-hari berikutnya kesadaran dalam setiap diri
pengunjung adalah penanggung jawabnya.
Matahari
baru saja menghilang saat kami sampai di parkiran. Langit keunguan menjadi latar belakang tarian daun dan
pelepah kelapa. Perahu-perahu nelayan berkerlap-kerlip di kejauhan. Kami
memilih jalan pulang melalui pesisir pantai ke Utara. Artinya, kami
mengelilingi setengah pulau Ambon hari itu. Sebelum ke rumah, kami berhenti di
warung bakso untuk makan malam. Hari itu, 22 November 2015 saya makan bakso untuk
kali pertama—atau kedua, saya lupa—dalam tahun ini. Entah karena sangat lapar
atau baksonya enak, saya makan bakso dua mangkok, lebih banyak daripada
teman-teman lainnya. Untung, Ahmad yang membayar semuanya.
Asiiiik!
Tabik!
Minggu,
14 Februari 2016. Labuan Bajo
mas itu air terjunnya kece banget ya, itu kalo kepleset langsung byuu yah :D
BalasHapussalam kenal
www.bukanrastaman.com
Iya mas, kalau naik trus lompat itu kece, tapi kalau naik trus kepeleset jadinya kece-bur. Hahaha
HapusJOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.cc
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.cc