Saya
sangat berharap kamu telah membaca menara keindahan di Raja Ampat sebelum
membaca tulisan ini.
Keseimbangan
diperlukan dalam kehidupan, agar terus berjalan dengan semestinya. Keseimbangan
dalam melihat, mengamati, mendengar, dan merasakan dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu kesimpulan.
Untuk
menyeimbangkan tulisan tentang keindahan Raja Ampat, saya menuliskan tentang
kerasnya kehidupan di sini. Khususnya keras bagi saya sebagai pejalan yang
singgah selama enam belas hari di sini. Maaf jika judul artikel ini sedikit
berlebihan. Tapi, semoga tidak.
Hari
pertama menjejakkan kaki di pulau Gam, Raja Ampat, kondisi saya sakit, karena kelelahan dan vertigo. Saya berlindung dalam kamar yang dipasangi
kelambu sepanjang hari, jika keluar ke beranda, obat nyamuk bakar selalu
disiapkan. Hal ini untuk melindungi tubuh dari gigitan nyamuk malaria dan agas.
Malaria adalah hantu yang bergetayangan di sini. Namun, penduduk di sekitar
homestay tampak santai tanpa baju. Mungkin nyamuk di sini lebih menyukai darah
pendatang. Padahal hanya telapak tangan dan muka saja yang tidak saya tutupi
selama sakit.
Hari
keempat adalah pertama kalinya saya mandi di homestay. Karena homestay tempat saya tinggal belum memiliki
kamar mandi dan toilet, pilihannya adalah mandi ke sumur yang agak masuk ke
hutan. Tantangan pertama sebelum mandi adalah dikerubungi nyamuk dan agas,
apalagi jika mandi sebelum magrib, jumlah mereka semakin banyak. Air sumur yang
payau, hingga pengunaan sabun dan shampo dua kali lebih banyak dari biasanya.
Dalam keadaan seperti ini, saya membayangkan nikmatnya berdiri di bawah shower
atau menimba air sepuasnya dari bak mandi. Begitulah cara saya menikmati
keadaan ini.
Selama
tinggal di sini, saya dan Devanosa—travelmate jalan-jalan gila di Bima-- memasak
makanan sendiri untuk dimakan bersama dengan keluarga bapak Hengky pemilik
homestay. Untuk berbelanja kebutuhan dapur, kami diantar bapak Hengky dengan long boat untuk berbelanja kebutuhan
sehari-hari di Pasar Ikan, Waisai. Perjalanan selama tiga jam pulang pergi itu
membutuhkan bensin sekitar 20 liter dengan harga Rp 12.500/liternya. Totalnya
butuh Rp 250.000 untuk biaya transportasi ke pasar. Untuk penghematan, kami
hanya berbelanja kebutuhan sekali seminggu, atau saat bapak Hengky ada
keperluan ke Waisai. Karena hal ini, saya dan Devanosa begitu sedih mendapati
tahu dan ikan kering persediaan kami dimakan anjing yang masuk ke dapur.
Di
Pasar Ikan, Waisai, saya terkejut ketika mendengar harga-harga barang yang
disebutkan pedangang. Satu ikat kecil sayur kangkung, tiga buah terong kecil,
dan tomat satu piring kecil harga masing-masingnya Rp 5.000, petai yang seluruh
kulitnya sudah menghitam dijual Rp 8.000/papannya, mangga golek ukuran sedang
Rp 12.000/buah. Sebagai perbandingan dengan harga barang di pasar tradisional
lain yang pernah saya kunjungi, di Sumba tiga ikat besar kangkung dijual Rp
5.000, di Ruteng dengan Rp 10.000 saya dapat delapan papan petai kualitas
terbaik, di Labuan Bajo—yang dikenal sebagai tempat dengan harga bahan makanan
termahal di Flores—mangga golek ukuran sedang saya beli Rp 5.000/buahnya. Oh,
Raja Ampat, alammu adalah kepingan surga di dunia, tapi harga barang-barang di
sini neraka, khususnya bagi saya yang sudah setahun berjalan dengan biaya yang terbatas.
Selama
ini, kita seringkali mendengar kalau jalan-jalan ke Raja Ampat itu mahal.
Benar. Tiket pesawat termurah Jakarta-Sorong pulang-pergi berkisar 3,5-4 juta.
Sewa speed boat untuk ke Pianemo kisaran 5-8 juta dan ke Wayag kisaran 12-15
juta. Biaya homestay kisaran 300-450 ribu/orang/malam, sedangkan resort kisaran
600 ribu-1.5 juta/orang/malam. Mahal, bukan? Relatif, tentunya.
Jika
kamu setuju harga-harga di atas mahal, sah-sah saja. Ulangilah baca tulisan ini
dari atas, setidaknya kamu akan menemukan alasan mahalnya jalan-jalan ke Raja
Ampat. Tapi, yakinlah, untuk setiap rupiah yang kamu bayar akan terganti dengan
keindahan alamnya.
Kamis,
14 April 2016. Labuan Bajo