Menjelang
matahari sejajar kepala, longboat kami
telah bergerak meninggalkan kampung Friwen menuju Waisai. Saya dan Deva diantar
bapak Hengky dan mama Rana. Permukaan laut bagai hamparan permadani biru saat
kami melintasinya. Tenang. Tidak ada gelombang. Bagai suatu salam perpisahan
yang syahdu.
Peluit
kapal cepat Waisai-Sorong bagai seorang perempuan cerewet memanggil penumpang. Walaupun
kapal baru bergerak setelah satu jam saya duduk di dalamnya. Sebelum
meninggalkan Raja Ampat, demi suatu keafdolan, saya menyempatkan diri berfoto
di barisan tulisan “I Raja Ampat” di dekat pelabuhan.
Menumpangi
kapal Express Bahari kami ke Sorong dua jam berikutnya. Kegiatan selanjutnya
adalah membeli tiket kapal Pelni tujuan Sorong-Ternate. Di papan informasi, tercantum
nama kapal yang akan kami tumpangi dengan keterangan tiket sudah habis. Ketegangan
seperti sedang melakukan pemanasan sebelum menghajar saya dan Deva. Deva dan
tukang ojeknya pergi ke agen lain untuk mengadu peruntungan kami. Hasilnya
sama. Tiket habis. Huffttt...
Deva
kembali mencari agen penjualan tiket yang lain dan saya menunggu di loket
penjualan. Niat untuk tinggal lebih lama di Sorong atau naik kapal tanpa tiket
menjadi pilihan yang sedang dipertimbangkan. Tiba-tiba ada panggilan masuk dari
Deva. “Menurut agen di sini ada kapal sore ini berangkat ke Morotai, tapi
tiketnya gak bisa dibeli di sini. Coba lo tanya di sana” pintanya dengan
terburu-buru. Saya bergegas ke loket penjualan yang sedang antri dan
menjelaskan kalau nama saya sudah dipanggil sebelumnya.
“Pak,
tiket kapal ke Morotai masih ada?”
“Ada,
sebentar lagi kapalnya berangkat”
“Masih
bisa beli tiketnya”
“Bisa,
berapa orang?”
Saya
membeli dua tiket. Ketika ingin membayarnya, uang di kantong saya tidak cukup.
Deva tidak menjawab panggilan telpon. Dia entah ada di mana. Waktu serasa
berlari lebih cepat. Saya kembali ke loket penjualan dan menyerahkan semua uang
yang ada dan menjanjikan akan segera melunasi. Petugas itu menahan tiket kami karena pembayarannya belum
lunas. Peluit kapal terdengar sampai ke tempat saya berdiri menunggu.
Ketegangan makin terasa. Duh...
Beberapa
menit berlalu dengan harap-harap cemas. Setengah jam lagi kapal akan berangkat.
Deva turun dari ojeknya dan saya langsung meminta uang yang dibutuhkan untuk
melunasi tiket. Ketegangan pertama terlewatkan. Tiket sudah di tangan. Fiuh...
Di
tiket itu tertera waktu keberangkatan pukul 17.30 WIT. Peluit kapal terus
menggema memanggil penumpang. Jam di tangan menunjukkan pukul 17.05.
“Anjriit.
Bentar lagi dong. Gue belum makan lagi” gerutu Deva ketika kami meninggalkan
loket pembelian tiket.
“Ayo
cepat. Cepat. Kapal sudah mau berangkat” kata petugas di tempat pengecekan
tiket di pelabuhan. Setengah berlari kami menuju tangga kapal yang mulai
lengang penumpang itu. Setengah hati juga saya meninggalkan Sorong tanpa makan
nasi Padang terlebih dulu.
Kebijakkan
Pelni yang hanya menjual tiket sesuai kapasitas kapal patut diapresiasi. Hal ini
dapat mencegah kapal kelebihan penumpang dan mengurangi resiko kecelakaan.
Namun, ada hal lain yang masih harus jadi perhatian, yaitu penempatan penumpang
berdasarkan nomor ranjang yang tertera di tiket. Karena setiap penumpang bebas
memilih tempat sesuai kelasnya, beberapa penumpang mengambil tempat lebih dari
yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini juga dimanfaatkan oleh beberapa ABK dan oknum lain untuk memperjual-belikan ranjang yang sebenarnya merupakan hal penumpang.
Kami
mengelilingi beberapa dek untuk mencari tempat kosong. Hasilnya nihil. Semua
ranjang terisi penuh. Kami datang terlambat. Akhirnya di depan tangga dek 6, di
samping pedagang asongan kami menemukan tempat kosong. Di sini, kami merenungi
kesalahan, yaitu tidak membeli tiket jauh hari sebelum keberangkatan. Apalagi
saat itu mendekati Natal. Banyak penduduk Maluku Utara dan Sulawesi yang pulang
kampung untuk merayakan Natal. Kesalahan itu membuat perjalanan kami sedikit
berganti arah ke Morotai. Dari Morotai perjalanan ke Ternate dilanjutkan dengan
kapal cepat selama satu malam. Kesalahan yang membuat kami membayar hampir dua
kali lipat dari biaya normal Sorong-Ternate, dan waktu perjalanan yang lebih
lama. Hufft....
Setelah
menata barang-barang, saya mengeluarkan dua lembar koran dan membentangkannya
di lantai. Deva mengeluarkan sarung lalu membentangkan di atasnya. Kami dapat
meluruskan badan dengan tenang. Sirkulasi udara di sini sangat baik, karena di
kiri-kanan terdapat pintu yang selalu terbuka. Saya merasa tempat ini jauh lebih
baik daripada di dalam dek yang penuh asap rokok. Dan, di tempat ini juga
cahayanya sangat bagus, hingga kami bisa nyaman membaca dan saya menuntaskan
tulisan ini. Tabik !
Minggu,
6 Desember 2015. Di atas KM Tatamailau